Jumat, 30 November 2012

PANGGILAN YANG DIDAHULUKAN .....


Hayya alash shalah.... Hayya alash shalah......

Kira-kira kalimat apakah yang tertera di samping kiri ini. Ya, saya yakin Anda pasti mengetahuinya. Apalagi Anda seorang muslim, bukan?

Kalimat di atas sudah sangat familiar di telinga kaum muslimin. Ya itulah salah satu bagian dari kalimat ADZAN.

Lalu apa yang Anda lakukan ketika mendengar itu?

Ada yang menjawab, "Ah biasa aja, kalimat itu kan sering saya dengar." Yang lainnya menjawab, "Itu panggilan untuk shalat, kan? Memangnya kenapa?" Itu suara adzan, nanti aja shalatnya!"

Ya, itulah jawaban sebagian saudara muslim. Mereka menyadari, itu adalah kalimat adzan atau panggilan shalat. Tetapi sadarkah Anda siapa yang memanggil? "Seorang muadzin lah!" Kata salah seorang. Benar yang memanggil untuk shalat adalah seorang muadzin. Tetapi pada kakekatnya, itu adalah panggilan Allah untuk menunaikan shalat berjamaah.

Adzan adalah panggilan Allah untuk menghadapnya. Panggilan untuk melaksanakan ibadah shalat lima waktu. Banyak di antara saudara kita yang ketika mendengar adzan, hanya acuh tak acuh saja. Karena suara itu sering didengar, jadi tidak memiliki perasaan apa-apa. Bahkan ada seseorang yang rumahnya sangat berdekatan dengan masjid; bertetangga dengan masjid. Tapi hadirkah sang pemiliki rumah ke masjid? Subhanallah, ternyata tidak hadir saat shalat jamaah ditegakkan.

Coba bandingkan dengan panggilan yang satu ini!

Bagaimana kalau ada seorang yang bekerja di sebuah perusahaan. Suatu saat sang pemilik (Boss) memanggilnya. Apa yang dilakukannya? Sang karyawan ini langsung memenuhi panggilannya, tanpa basa-basi.

Ketika ditanya, "Apa alasannya sehingga Anda sangat cepat memenuhi panggilannya?" Sang karyawan menjawab, "Boss kan yang menggaji kita. Boss kan yang memberikan fasillitas yang memuaskan seperti jaminan kesehatan untuk pribadi, anak dan istri. Boss juga kan yang memberikan THR (Tunjangan Hari Raya) saat hari raya tiba. Kalau tidak datang nanti dipecat, kan mencari pekerjaan sulit! Bagaimana kalau menganggur, mau makan apa nanti?"

Masih banyak alasan-alasan lain yang dibuat-buat. Nah, hal seperti ini sering kali terjadi. Banyak orang yang lebih mendahulukan perintah/panggilan manusia ketimbang panggilan Sang Khalik (Pencipta), Allah subhanahu wa ta'ala.

Kalau kita mau mencoba menghitung-hitung  jumlah keseluruhan uang yang diterima karyawan tadi dari sang Boss dalam sebulan, itu tidak lebih dari Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah) atau lebih sedikit.

Tapi apa yang diberikan Allah terhadapnya? Subhanallah, tak satupun manusia yang sanggup untuk menghitung nikmat-nikmat Allah. 


bÎ)ur (#rãès? spyJ÷èÏR «!$# Ÿw !$ydqÝÁøtéB 3 žcÎ) ©!$# Öqàÿtós9 ÒOÏm§ ÇÊÑÈ  

"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. an Nahl: 18)

Uang lima juta tidak ada apa-apanya! Seseorang telah diberikan kehidupan, itu nikmat dari Allah, sehingga dia mampu menikmati kehidupan alam yang fana ini, bahkan dia bisa mengumpulkan harta yang merupakan rizki dari Allah.

Tetapi apa yang terjadi? Setiap panggilan Allah dia lalaikan. Seolah-olah panggilan itu seperti angin yang berlalu. Dia sibuk dengan pekerjaannya. Sedikitpun tak terbersit dalam hatinya untuk memenuhi panggilan Allah tersebut. Padahal, seandainya Allah menghancurkan dirinya dan pekerjaan yang sedang dia lakukan saat itu, pasti bisa. Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

Ingat, betapa banyak manusia yang Allah berikan kepadanya rizki yang melimpah, padahal dia selalu bergelimang dengan dosa dan kemaksiatan. Betapa banyak orang yang tidak melakukan shalat, tetapi rizkinya terus mengalir!

Jangan terpukau dengan kekayaan seseorang. Janganlah silau dengan kehebatan seseorang. Hati-hati, itulah yang namanya istidraj.  Di satu sisi, Allah berikan padanya kekayaan yang melimpah, di sisi yang lain, dia terus melakukan kemaksiatan. Suatu saat Allah akan mencabut nyawanya dengan tiba-tiba sehingga ia tidak sempat lagi untuk bertaubat kepada-Nya. Wal 'iyadzu billah.

Kehidupan di alam dunia ini hanyalah sementara dan terbatas. Sementara artinya tidak abadi, tidak kekal. Coba perhatikan dan renungkan! Usia para Nabi terdahulu lebih dari 1000 tahun. Lihatlah Nabiyullah Nuh alaihis salam.

Pertanyaannya, masih hidupkah Nabi Nuh alaihis salam sampai sekarang? Jawaban yang pasti, beliau telah meninggalkan dunia yang fana ini. Belum lagi Nabi-nabi beserta umatnya terdahulu yang diberikan umur yang panjang. Masih adakah mereka? Mereka hanya tinggal kenangan saja. Hanya menjadi sejarah masa lalu.

Terbatas artinya manusia dibatasi dengan umurnya. Setelah umurnya habis. Maka habis pula jatah hidupnya di dunia. Dan umur umat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam hanya berkisar antara 60-70 tahun saja.

"Umur umatku hanya berkisar antara 60-70 tahun dan sangat sedikit yang melebihi dari kisaran tersebut." (HR. at-Tirmidzi. Dishahihkan oleh al-Albani rahimahullah)

Siapapun orangnya. Apapun jabatan atau profesinya. Apakah mereka manusia atau bangsa jin sampai malaikat sekalipun pasti akan menemui kematian. Seluruh makhluk pasti akan merasakan kematian. Ingatlah, pasti akan merasakan kematian.

Coba kita ulang-ulangi ayat yang agung ini.

@ä. <§øÿtR èps)ͬ!#sŒ ÏNöqpRùQ$# 3  Ÿ

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan kematian."  (QS. Ali Imran: 185).

Penuhilah panggilan Allah, sebelum semuanya berakhir. Penuhilah panggilan itu sebelum lidah-lidah ini kaku karena sudah tidak adanya nyawa lagi.

Tidak ada dispensasi (keringan) dalam menghadiri shalat jamaah, baik bagi orang buta maupun yang melek mata (kecuali beberapa keadaan yang telah disebutkan Rasul shallallahu alaihi wa sallam, seperti hujan yang deras, makanan yang sudah tersedia sementara perut sangat lapar dan sebagainya). 

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah memberikan keringanan untuk tidak hadir shalat berjamaah terhadap sahabat yang buta matanya, dengan alasan tidak ada yang menuntun dia ke masjid, sulitnya perjalanan (dikhwatirkan ada binatang buas). Setelah sahabat ini berbalik untuk pergi, Rasululullah bertanya, "Atasma'un nida? (Apakah Anda mendengar panggilan adzan?) "Na'am! (Ya). Nabi menjawab, "Fa ajib (penuhi panggilan itu!)"

Sekarang saya bertanya, "Apakah Anda seorang yang buta? Apakah dalam perjalanan menuju masjid banyak binatang buasnya? Subhanallah, itu sama sekali tidak ada pada diri Anda. Anda seorang yang sehat matanya, bukan? Tidak ada seekorpun binatang buas menghalangi Anda menuju masjid. 

Jadi, penuhilah panggilan itu! Niscaya akan menjadi orang yang beruntung.

"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya" (QS. al Mu'minun: 1-2)















ISBAL, NO WAY!


Hari ini, tanggal 16 Muharram 1434 H / 30 November 2012 M, sepulang dari shalat Jum'at, penulis dikejutkan dengan perkataan ibu kandung, "Pakai kain tinggi amat! Turunin dikit apa!" Kemudian datang seorang kakak perempuan menimpali, "Iya, tinggi amat!" Sambil masuk ke dalam rumah, penulis menjawab, "Beginilah cara mengikuti Rasulullah, ingin mendapatkan pahala dari Allah."

Nah, para pembaca mungkin sudah bisa memahami dialog di atas. Ya, masalah memakai kain atau pakaian. Berpakaian dalam Islam sudah diatur caranya, termasuk dalam hal memakai kain, celana, baju dan sebagainya. Rasulullah shallalalhu alaihi wa sallam telah menerangkan dengan jelas tentang aturan berpakaian khususnya bagi kaum pria.

Kejadian di atas mungkin kerap kali terjadi dan pernyataan di atas juga sering kali diungkapkan orang kepada pelakunya. Terkadang ada yang langsung mengungkapkan seperti kasus penulis ini. Terkadang ada yang mencibir dengan ungkapan "kebanjiran". Atau hanya memandang sinis kepada pelakunya.

Berpakaian seperti ini adalah cara berpakaian yang dicontohkan Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Jadi tidak mengada-ada. Atau bohong belaka. Dan kalau mencontoh yang demikian, maka akan mendapatkan pahala dari Allah Azza wa Jalla. Sebaliknya jika melanggar, maka akan terancam dimasukkan ke dalam neraka. Wal 'iyadzu billah.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

"Kain (yang memanjang) di bawah mata kaki tempatnya di neraka." (HR. Ahmad, 6/254; Shahihul Jami', 5571)

Bahkan dalam riwayat Muslim 1/102, disebutkan tentang tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada Hari Kiamat, tidak pula dilihat dan tidak disucikan serta bagi mereka siksa yang pedih. Salah satunya adalah MUSBIL (orang yang memanjangkan pakaiannya hingga ke bawah mata kaki).

Musbil adalah orangnya (pelakunya) sedangkan isbal adalah cara memakai pakaiannya.
Isbal diharamkan untuk seluruh pakaian, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radiyallahu anhuma.

"Isbal itu pada kain (sarung), gamis, dan sorban. Siapa yang memanjangkan daripadanya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat." (HR.Abu Dawud; Shahihul Jami, 2770)

Sedangkan batasan panjang kain atau celana yang diperbolehkan menurut tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melalui hadits-hadits beliau yang mulia dengan penjelasan para salafus shalih adalah sebagai berikut:
  • Menaikannya (sarung, celana, gamis) sampai pertengahan betis.
  • Di bawah betis sedikit (pertengahan antara mata kaki dan pertengahan betis).
  • Di atas mata kaki.
  • Batas bawah mata kaki. 
Berpakaian di atas mata kaki sebenarnya sungguh menguntungkan pelakunya dan banyak sekali keutamaannya, di antaranya:

1.  Mengikuti sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam
2. Terhindar dari najis, apalagi celananya sampai menjulur ke tanah.
3. Tidak direpotkan dengan celana yang dipakai, yaitu menggulungnya setiap mau shalat.
4.  Kesederhanaan dalam berpakaian (tidak boros bahan pakaian).
5.  Enak dipandang mata.

Walaupun tidak diketahui keutamaannya, yang jelas ini merupakan perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan wajib untuk diikuti. Ya, wajib untuk diikuti, tanpa harus mengetahui ada atau tidaknya keutamaan sebuah perintah.

Tetaplah berpakaian di atas mata kaki. Jauhi dari isbal dan katakan: ISBAL, NO WAY!