Rabu, 07 November 2012

KETURUNAN SIAPA?

Suatu hari penulis terperangah ketika diberitahu bahwa si A (inisial) bukan anak kandungnya D. Terperangah sekaligus kaget karena di Akte Kelahiran tercatat si A adalah anak kandung pasangan B dan C. Ternyata di lapangan, fakta berbicara lain.

Kasus seperti ini penulis temukan dan terjadi di RA/TK yang penulis kelola sendiri sejak tahun 2005 s.d. 2012 (tercatat ada tiga kasus).


Sementara itu, di kesempatan dan tempat yang lain penulis menemukan satu kasus. Sang anak yang telah ditinggal mati oleh ibunya sedangkan ayah kandungnya masih dalam keadaan hidup namun ketika dibuatkan Akte Kelahirannya, justeru bukan atas nama ayah kandungnya yang tertulis di sana tapi nama kakeknya (bapak dari ibu kandungnya). subhanallah. 


Permasalahannya ternyata sudah masuk ke ranah hukum, baik hukum Islam maupun positif negara.

Ketika seseorang telah resmi membuat pencatatan kelahiran di kantor Catatan Sipil, maka data yang akan tercatat di Akte Kelahiran sesuai dengan data pada saat awal pembuatan. Jadi kalau yang dilaporkan, umpama si A anak kandung si fulan dan fulanah, maka itulah nama-nama yang akan tertera di Akte Kelahiran. Walaupun kenyataannya tidak. 


Bagaimana Islam memandang hal ini?


Untuk menjawab pertanyaan ini, coba perhatikan ayat-ayat al Qur'an beserta tafsirnya dan hadits yang mulia ini.


Firman Allah Ta'ala:



" Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (QS. al Ahzab: 4)

Imam Ibnu Katsir berkata, “Sesungguhnya ayat ini turun (untuk menjelaskan) keadaan Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum diangkat sebagai Nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai anak, sampai-sampai dia dipanggil “Zaid bin Muhammad” (Zaid putranya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka Allah Ta’ala ingin memutuskan pengangkatan anak ini dan penisbatannya (kepada selain ayah kandungnya) dalam ayat ini, sebagaimana juga firman-Nya di pertengahan surah al-Ahzaab,

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al-Ahzaab: 40).

" Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu[1199]. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ". (QS. al Ahzab: 5)

Imam Ibnu Katsir berkata, “(Ayat) ini (berisi) perintah (Allah Ta’ala) yang menghapuskan perkara yang diperbolehkan di awal Islam, yaitu mengakui sebagai anak (terhadap) orang yang bukan anak kandung, yaitu anak angkat. Maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan mereka kepada ayah mereka yang sebenarnya (ayah kandung), dan inilah (sikap) adil dan tidak berat sebelah”.

Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


"Tidak seorangpun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur." (HR. Bukhari dan Muslim)

" Barangsiapa mengaku (bernasab) kepada selain ayahnya sedang ia mengetahui, maka haram baginya surga (HR. Bukhari, lihat Fathul Bari, 8/45)

" Perempuan manapun yang menggolongkan (seorang anak) kepada suatu kaum, padahal dia bukan dari golongan mereka, maka Allah berlepas diri darinya dan tidak akan memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa dari laki-laki yang mengingkari anaknya padahal dia melihatnya (sebagai anaknya yang sah) maka Allah akan menutup diri daripadanya dan akan mempermalukannya di hadapan para pemimpin orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian".
(HR. Abu Daud, 2/695, lihat misykatul mashabih, 3316). 


“Barangsiapa yang disebut bukan kepada bapaknya atau berafiliasi bukan kepada walinya, maka baginya laknat Allah yang berkelanjutan” [H.R Abu Daud]


SEJARAH DAN HUKUM MENGADOPSI ANAK 

Adopsi anak sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum ada risalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dahulu anak adopsi dinasabkan kepada ayah angkatnya, bisa menerima waris, dapat menyendiri dengan anak serta istrinya, dan istri anak adopsi haram bagi ayah angkatnya (pengadopsi). Secara umum anak adopsi layaknya anak kandung dalam segala urusan. Nabi pernah mengadopsi Zaid bin Haritsah bin Syarahil Al-Kalbi sebelum beliau menjadi Rasul, sehingga dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad. Tradisi ini berlanjut dari zaman jahiliyah hingga tahun ketiga atau keempat Hijriyah.


FATWA MUI TENTANG HUKUM MENGADOPSI ANAK

" Tidak diragukan lagi bahwa usaha semacam ini merupakan perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh agama serta diberi pahala."

Melalui fatwanya MUI mengharapkan supaya adopsi dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh, dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang , seperti anak sendiri. Ini adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal shaleh.


STATUS ANAK ANGKAT DALAM ISLAM


1. Dilarang menisbatkan anak angkat kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu Dan tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang kamu salah padanya, tetapi (yang ada dosanya adalah) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab: 5).

Imam Ibnu Katsir berkata, “(Ayat) ini (berisi) perintah (Allah Ta’ala) yang menghapuskan perkara yang diperbolehkan di awal Islam, yaitu mengakui sebagai anak (terhadap) orang yang bukan anak kandung, yaitu anak angkat. Maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan mereka kepada ayah mereka yang sebenarnya (ayah kandung), dan inilah (sikap) adil dan tidak berat sebelah”.

2. Anak angkat tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya, berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia.

3. Anak angkat bukanlah mahram, sehingga wajib bagi orang tua angkatnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak angkat tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah. 

4. Diperbolehkannya bagi bapak angkat untuk menikahi bekas istri anak angkatnya, berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah. 

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertaqwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya (menceraikannya). Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” (QS al-Ahzaab: 37).


Catatan akhir: 

Keturunan siapa seharusnya anak angkat? Anak angkat harus dinisbatkan kepada ayah kandungnya sendiri. Ya, ayah kandungnya sendiri. Bukan dengan ayah angkatnya. Walaupun ayah angkatnya telah merawat, mengasuh, membesarkannya sejak bayi, mendidik, bahkan sampai usia dewasa hingga si anak berumah tangga sekalipun. Ayah angkat tetaplah ayah angkat & dia adalah orang lain. 

Bagi siapapun yang telah mengangkat seorang anak menjadi anak angkatnya, hindari dari membuatkan Akte Kelahiran dengan mencantumkan nama dirinya di akte tersebut yang menyatakan bahwa dirinya adalah ayah kandung dari anak yang diangkatnya.

Siapapun yang telah membuatkan akte kelahiran anak dan menisbatkan dirinya sebagai ayah kandungnya padahal bukan, maka  bertaubatlah kepada Allah Ta'ala. Ganti nama ayah angkatnya dengan nama ayah kandungnya. Hindari murka Allah. Hindari kemarahan Allah. Karena ini termasuk dosa besar yang dianggap kecil oleh sebagian orang dan dianggap biasa melakukannya. Lihatlah perintah Allah dan ancaman Rasul-Nya sebagaimana tertera pada pembahasan di atas. Insya Allah usaha Anda dalam membantu saudara sesama muslim akan diberikan pahala yang besar di sisi Allah.