Jumat, 30 November 2012

PANGGILAN YANG DIDAHULUKAN .....


Hayya alash shalah.... Hayya alash shalah......

Kira-kira kalimat apakah yang tertera di samping kiri ini. Ya, saya yakin Anda pasti mengetahuinya. Apalagi Anda seorang muslim, bukan?

Kalimat di atas sudah sangat familiar di telinga kaum muslimin. Ya itulah salah satu bagian dari kalimat ADZAN.

Lalu apa yang Anda lakukan ketika mendengar itu?

Ada yang menjawab, "Ah biasa aja, kalimat itu kan sering saya dengar." Yang lainnya menjawab, "Itu panggilan untuk shalat, kan? Memangnya kenapa?" Itu suara adzan, nanti aja shalatnya!"

Ya, itulah jawaban sebagian saudara muslim. Mereka menyadari, itu adalah kalimat adzan atau panggilan shalat. Tetapi sadarkah Anda siapa yang memanggil? "Seorang muadzin lah!" Kata salah seorang. Benar yang memanggil untuk shalat adalah seorang muadzin. Tetapi pada kakekatnya, itu adalah panggilan Allah untuk menunaikan shalat berjamaah.

Adzan adalah panggilan Allah untuk menghadapnya. Panggilan untuk melaksanakan ibadah shalat lima waktu. Banyak di antara saudara kita yang ketika mendengar adzan, hanya acuh tak acuh saja. Karena suara itu sering didengar, jadi tidak memiliki perasaan apa-apa. Bahkan ada seseorang yang rumahnya sangat berdekatan dengan masjid; bertetangga dengan masjid. Tapi hadirkah sang pemiliki rumah ke masjid? Subhanallah, ternyata tidak hadir saat shalat jamaah ditegakkan.

Coba bandingkan dengan panggilan yang satu ini!

Bagaimana kalau ada seorang yang bekerja di sebuah perusahaan. Suatu saat sang pemilik (Boss) memanggilnya. Apa yang dilakukannya? Sang karyawan ini langsung memenuhi panggilannya, tanpa basa-basi.

Ketika ditanya, "Apa alasannya sehingga Anda sangat cepat memenuhi panggilannya?" Sang karyawan menjawab, "Boss kan yang menggaji kita. Boss kan yang memberikan fasillitas yang memuaskan seperti jaminan kesehatan untuk pribadi, anak dan istri. Boss juga kan yang memberikan THR (Tunjangan Hari Raya) saat hari raya tiba. Kalau tidak datang nanti dipecat, kan mencari pekerjaan sulit! Bagaimana kalau menganggur, mau makan apa nanti?"

Masih banyak alasan-alasan lain yang dibuat-buat. Nah, hal seperti ini sering kali terjadi. Banyak orang yang lebih mendahulukan perintah/panggilan manusia ketimbang panggilan Sang Khalik (Pencipta), Allah subhanahu wa ta'ala.

Kalau kita mau mencoba menghitung-hitung  jumlah keseluruhan uang yang diterima karyawan tadi dari sang Boss dalam sebulan, itu tidak lebih dari Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah) atau lebih sedikit.

Tapi apa yang diberikan Allah terhadapnya? Subhanallah, tak satupun manusia yang sanggup untuk menghitung nikmat-nikmat Allah. 


bÎ)ur (#rãès? spyJ÷èÏR «!$# Ÿw !$ydqÝÁøtéB 3 žcÎ) ©!$# Öqàÿtós9 ÒOÏm§ ÇÊÑÈ  

"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. an Nahl: 18)

Uang lima juta tidak ada apa-apanya! Seseorang telah diberikan kehidupan, itu nikmat dari Allah, sehingga dia mampu menikmati kehidupan alam yang fana ini, bahkan dia bisa mengumpulkan harta yang merupakan rizki dari Allah.

Tetapi apa yang terjadi? Setiap panggilan Allah dia lalaikan. Seolah-olah panggilan itu seperti angin yang berlalu. Dia sibuk dengan pekerjaannya. Sedikitpun tak terbersit dalam hatinya untuk memenuhi panggilan Allah tersebut. Padahal, seandainya Allah menghancurkan dirinya dan pekerjaan yang sedang dia lakukan saat itu, pasti bisa. Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

Ingat, betapa banyak manusia yang Allah berikan kepadanya rizki yang melimpah, padahal dia selalu bergelimang dengan dosa dan kemaksiatan. Betapa banyak orang yang tidak melakukan shalat, tetapi rizkinya terus mengalir!

Jangan terpukau dengan kekayaan seseorang. Janganlah silau dengan kehebatan seseorang. Hati-hati, itulah yang namanya istidraj.  Di satu sisi, Allah berikan padanya kekayaan yang melimpah, di sisi yang lain, dia terus melakukan kemaksiatan. Suatu saat Allah akan mencabut nyawanya dengan tiba-tiba sehingga ia tidak sempat lagi untuk bertaubat kepada-Nya. Wal 'iyadzu billah.

Kehidupan di alam dunia ini hanyalah sementara dan terbatas. Sementara artinya tidak abadi, tidak kekal. Coba perhatikan dan renungkan! Usia para Nabi terdahulu lebih dari 1000 tahun. Lihatlah Nabiyullah Nuh alaihis salam.

Pertanyaannya, masih hidupkah Nabi Nuh alaihis salam sampai sekarang? Jawaban yang pasti, beliau telah meninggalkan dunia yang fana ini. Belum lagi Nabi-nabi beserta umatnya terdahulu yang diberikan umur yang panjang. Masih adakah mereka? Mereka hanya tinggal kenangan saja. Hanya menjadi sejarah masa lalu.

Terbatas artinya manusia dibatasi dengan umurnya. Setelah umurnya habis. Maka habis pula jatah hidupnya di dunia. Dan umur umat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam hanya berkisar antara 60-70 tahun saja.

"Umur umatku hanya berkisar antara 60-70 tahun dan sangat sedikit yang melebihi dari kisaran tersebut." (HR. at-Tirmidzi. Dishahihkan oleh al-Albani rahimahullah)

Siapapun orangnya. Apapun jabatan atau profesinya. Apakah mereka manusia atau bangsa jin sampai malaikat sekalipun pasti akan menemui kematian. Seluruh makhluk pasti akan merasakan kematian. Ingatlah, pasti akan merasakan kematian.

Coba kita ulang-ulangi ayat yang agung ini.

@ä. <§øÿtR èps)ͬ!#sŒ ÏNöqpRùQ$# 3  Ÿ

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan kematian."  (QS. Ali Imran: 185).

Penuhilah panggilan Allah, sebelum semuanya berakhir. Penuhilah panggilan itu sebelum lidah-lidah ini kaku karena sudah tidak adanya nyawa lagi.

Tidak ada dispensasi (keringan) dalam menghadiri shalat jamaah, baik bagi orang buta maupun yang melek mata (kecuali beberapa keadaan yang telah disebutkan Rasul shallallahu alaihi wa sallam, seperti hujan yang deras, makanan yang sudah tersedia sementara perut sangat lapar dan sebagainya). 

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah memberikan keringanan untuk tidak hadir shalat berjamaah terhadap sahabat yang buta matanya, dengan alasan tidak ada yang menuntun dia ke masjid, sulitnya perjalanan (dikhwatirkan ada binatang buas). Setelah sahabat ini berbalik untuk pergi, Rasululullah bertanya, "Atasma'un nida? (Apakah Anda mendengar panggilan adzan?) "Na'am! (Ya). Nabi menjawab, "Fa ajib (penuhi panggilan itu!)"

Sekarang saya bertanya, "Apakah Anda seorang yang buta? Apakah dalam perjalanan menuju masjid banyak binatang buasnya? Subhanallah, itu sama sekali tidak ada pada diri Anda. Anda seorang yang sehat matanya, bukan? Tidak ada seekorpun binatang buas menghalangi Anda menuju masjid. 

Jadi, penuhilah panggilan itu! Niscaya akan menjadi orang yang beruntung.

"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya" (QS. al Mu'minun: 1-2)















ISBAL, NO WAY!


Hari ini, tanggal 16 Muharram 1434 H / 30 November 2012 M, sepulang dari shalat Jum'at, penulis dikejutkan dengan perkataan ibu kandung, "Pakai kain tinggi amat! Turunin dikit apa!" Kemudian datang seorang kakak perempuan menimpali, "Iya, tinggi amat!" Sambil masuk ke dalam rumah, penulis menjawab, "Beginilah cara mengikuti Rasulullah, ingin mendapatkan pahala dari Allah."

Nah, para pembaca mungkin sudah bisa memahami dialog di atas. Ya, masalah memakai kain atau pakaian. Berpakaian dalam Islam sudah diatur caranya, termasuk dalam hal memakai kain, celana, baju dan sebagainya. Rasulullah shallalalhu alaihi wa sallam telah menerangkan dengan jelas tentang aturan berpakaian khususnya bagi kaum pria.

Kejadian di atas mungkin kerap kali terjadi dan pernyataan di atas juga sering kali diungkapkan orang kepada pelakunya. Terkadang ada yang langsung mengungkapkan seperti kasus penulis ini. Terkadang ada yang mencibir dengan ungkapan "kebanjiran". Atau hanya memandang sinis kepada pelakunya.

Berpakaian seperti ini adalah cara berpakaian yang dicontohkan Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Jadi tidak mengada-ada. Atau bohong belaka. Dan kalau mencontoh yang demikian, maka akan mendapatkan pahala dari Allah Azza wa Jalla. Sebaliknya jika melanggar, maka akan terancam dimasukkan ke dalam neraka. Wal 'iyadzu billah.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

"Kain (yang memanjang) di bawah mata kaki tempatnya di neraka." (HR. Ahmad, 6/254; Shahihul Jami', 5571)

Bahkan dalam riwayat Muslim 1/102, disebutkan tentang tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada Hari Kiamat, tidak pula dilihat dan tidak disucikan serta bagi mereka siksa yang pedih. Salah satunya adalah MUSBIL (orang yang memanjangkan pakaiannya hingga ke bawah mata kaki).

Musbil adalah orangnya (pelakunya) sedangkan isbal adalah cara memakai pakaiannya.
Isbal diharamkan untuk seluruh pakaian, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radiyallahu anhuma.

"Isbal itu pada kain (sarung), gamis, dan sorban. Siapa yang memanjangkan daripadanya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat." (HR.Abu Dawud; Shahihul Jami, 2770)

Sedangkan batasan panjang kain atau celana yang diperbolehkan menurut tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melalui hadits-hadits beliau yang mulia dengan penjelasan para salafus shalih adalah sebagai berikut:
  • Menaikannya (sarung, celana, gamis) sampai pertengahan betis.
  • Di bawah betis sedikit (pertengahan antara mata kaki dan pertengahan betis).
  • Di atas mata kaki.
  • Batas bawah mata kaki. 
Berpakaian di atas mata kaki sebenarnya sungguh menguntungkan pelakunya dan banyak sekali keutamaannya, di antaranya:

1.  Mengikuti sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam
2. Terhindar dari najis, apalagi celananya sampai menjulur ke tanah.
3. Tidak direpotkan dengan celana yang dipakai, yaitu menggulungnya setiap mau shalat.
4.  Kesederhanaan dalam berpakaian (tidak boros bahan pakaian).
5.  Enak dipandang mata.

Walaupun tidak diketahui keutamaannya, yang jelas ini merupakan perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan wajib untuk diikuti. Ya, wajib untuk diikuti, tanpa harus mengetahui ada atau tidaknya keutamaan sebuah perintah.

Tetaplah berpakaian di atas mata kaki. Jauhi dari isbal dan katakan: ISBAL, NO WAY!

Rabu, 28 November 2012

PENTINGNYA DIALOG & DISKUSI


Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar".

Apa kira-kira yang ada di benak Anda mengenai surat as Shafaat : 102 di atas?

Atau bagaimana dengan ayat ini?

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. al Baqarah:30)

Bagaimana dengan yang ini?

Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah". (QS. al  'Araf: 12)

Lalu bagaimana pula dengan yang satu ini?

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat " (QS. al Mudatstsir 42-43)


Anda pasti tahu bukan? Ya itu adalah bentuk hiwar (Arab), conversation (Inggris), dialog atau percakapan (Indonesia). Masih banyak sekali di dalam kitab suci al Qur'an yang menyebutkan tentang dialog. Baik itu dialog Allah dengan makhluk-Nya atau seorang nabi dengan anak-anaknya, atau penghuni surga dengan neraka dan sebagainya.

Pengertian Dialog & Diskusi

A. Dialog
1. Penuturan kata-kata oleh para pemeran
2. Percakapan antara seorang tokoh dengan tokoh lainnya.

Secara etimologis berasal dari bahasa yunani διά (dia, jalan batu / cara) dan λόγος (logos, kata), sehingga dapat diartikan sebagai ‘cara manusia dalam mengunakan kata’. Dialog merupakan percakapan timbal balik antara dua orang atau lebih. Berlawanan dengan diskusi yang punya kecenderungan menuju sebuah goal tertentu, mencapai sebuah persetujuan, memecahkan persoalan, atau memenangkan opini seseorang, dialog bukan sebuah teknik untuk memecahkan persoalan atau sarana resolusi konflik.

B.Diskusi
Diskusi merupakan salah satu bentuk kegiatan wicara. Dengan berdiskusi kita dapat memperluas pengetahuan serta memperoleh pengalaman-pengalaman.
Diskusi adalah pertukaran pikiran, gagasan, pendapat antara dua orang atau lebih secara lisan dengan tujuan mencari kesepakatan atau kesepahaman gagasan atau pendapat.

Penekanan pada artikel kita kali ini adalah dialog orang tua kepada putra/i-nya. Coba lihat kembali ayat suci yang paling atas. Itu adalah dialog antara Nabiyullah Ibrahim 'alaihi salaam dengan putra kesayangannya Ismail.

Apa gerangan yang terjadi saat itu? Dialog ini berkisar tentang rencana Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya Ismail sebagai perintah dari Allah azza wa jalla. Ibrahim selaku sang bapak tidak bersikap otoriter, semau dia saja. Tetapi beliau selaku Khalilullah (kekasih Allah) mengajak duduk bersama, bertukar pikiran dengan anaknya melalui dialog.


Coba perhatian pokok pikiran Ibrahim 'alaihi salaam:

"Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!"


Dan inilah jawaban Ismail sebagai anak yang shaleh dengan ucapan:



"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar".

Dialog ini sebenarnya kalau kita perhatikan secara seksama akan banyak pelajaran yang dapat kita ambil diantaranya:


1. Dialog serta diskusi akan membuka wawasan keilmiahan bagi para pelakunya. Karena melalui dialog & diskusi itu akan memunculkan ide-ide baru, pendapat-pendapat yang brilian yang dikeluarkan peserta sehingga keinginan-keinginan bisa dicapai bersama.


2. Seorang bapak selaku kepala rumah tangga tidak boleh bersikap otoriter, mau menang sendiri, segala kemauannya harus dituruti tanpa mau menerima pendapat putra/i-nya. Anak bukanlah objek penderita yang selalu disalahklan.


3. Ketika anak diajak dialog, diskusi duduk bersama dengan orang tuanya atau yang lain, maka seorang anak akan merasa tersanjung. Ingatlah terkadang ada ide atau pendapat anak yang tidak dimiliki orang tua, mengingat ilmu seseorang dengan yang lainnya berbeda-beda, kesempurnaan hanya milik al Khalik, Allah Azza wa Jalla.


Perhatikan kisahnya Umar Ibnul Khathab yang mengajak Ibnu Abbas (masih kecil saat itu) dalam suatu majlis para sahabat utama (orang dewasa). Ketika diminta pendapatnya tentang tafsir QS. an Nashr, jawaban Ibnu Abbas sungguh sangat menakjubkan di luar perkiraan para sahabat. Dimana jawaban para sahabat saat itu biasa-biasa saja, artinya hanya sesuai dengan kontek ayat. Tetapi Ibnu Abbas mengeluarkan pendapat yang berbeda dari kebanyakan sahabat saat itu. Tafsiran beliau adalah ajal Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sudah dekat. Artinya Allah segera akan memanggil Nabi keharibaan-Nya setelah kemenangan demi kemenangan diperoleh Nabi dan umatnya.


4. Membiarkan anak mengeluarkan pendapatnya adalah sikap bijak sang bapak/ibu.


5. Permasalahan sebesar apapun yang terjadi di dalam suatu keluarga insya Allah akan ada solusinya, jika dikembangkan dialog dan komunikasi yang baik antara anak dengan orang tuanya.


Budayakan dialog serta diskusi secara baik, insya Allah banyak manfaat yang dapat kita ambil.

Sabtu, 24 November 2012

TERSENYUMLAH!

Pada tahun 2009 yang lalu, ada sebuah laporan dari The Smiling Report yang berbasis di Swedia, menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat pertama  negara paling murah senyum di dunia dengan skor 98%. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa senyum adalah gerakan ekspresif yang tidak bersuara untuk menunjukkan rasa senang, gembira, suka dan sebagainya dengan mengembangkan bibir sedikit.

Sebuah kebanggaan tersendiri, negara kita mendapatkan pengakuan internasional. Namun di balik itu semua dapatlah kita fahami bahwa senyum itu adalah suatu keniscayaan dalam din atau agama kita.

Tersenyum merupakan suatu perbuatan yang mengandung nilai ibadah. Lihatlah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam berikut:

"Senyum-mu di hadapan saudaramu merupakan shadaqah." (HR. Bukhari)

Nah, benarlah apa yang dikatakan hadits di atas. Senyum adalah shadaqah bagi seseorang. Mengandung nilai pahala di sisi Allah subhanahu wa ta'ala.

Perilaku Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam muamalah dengan keluarga dan para sahabat lebih didominasi senyuman ketimbang tawa. Bahkan tertawanya beliau adalah berupa senyuman. Subhanallah!

Hal itu dapat dilihat dari beberapa riwayat berikut:

  • Dari Jabir radiyallahu anhu, dia berkata, "Tidaklah ada sesuatu yang menghalangi Rasulullah dariku atau tatkala beliau melihatku semenjak aku masuk Islam, melainkan beliau pasti tersenyum." (HR. at Tirmidzi).
  • Dari Umar bin al Khaththab radiyallahu anhu, dia berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tersenyum dan beliau adalah orang paling baik giginya." (HR. Ibnu Hibban).
  • Dari Aisyah radiyallahu anha berkata, "Sekalipun aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berlebih-lebihan saat tertawa hingga kulihat telak mulutnya. Tawa beliau hanyalah berupa senyuman." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, al Baghawi, dan Ahmad)
  • Dari Abdullah bin Juz', dia berkata, "Rasulullah tidak tertawa selain dari senyuman." (HR. at Tirmidzi). 

Perilaku beliau ini bukan hanya saat berkumpul dengan para sahabat, namun hal ini terjadi juga pada keluarga beliau yang mulia.

Aisyah pernah ditanya, "Bagaimana perilaku Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat berada di rumahnya? Aisyah menjawab, "Beliau adalah orang yang paling lemah lembut, paling murah hati, dan beliau tidak berbeda dengan salah seorang laki-laki di antara kalian. Hanya saja beliau banyak tertawa yang berupa senyuman." (HR. Ibnu Sa'd dan Ibnu Asakir).

Bukan hanya itu, terhadap musuh sekalipun, beliau dalam keadaan muka ceria dan berseri disertai senyuman. Ini terjadi pada seorang yang bernama Uyainah bin Hishn, kalangan Arab yang berperangai kasar.

Diriwayatkan bahwa saat Uyainah ini ingin menghadap Rasul dari kejauhan Rasulullah berbicara kepada Aisyah, "Dia adalah seburuk-seburuk saudara dalam kerabat dan anak dalam kerabat."

Namun ketika orang itu duduk, Rasulullah mengembangkan senyumnya dan menerima dengan senang hati. Setelah orang itu pergi, Aisyah berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, ketika melihat orang tadi dari kejauhan, engkau berkata begini dan begitu. Tapi kemudian engkau bewajah ceria setelah berada di hadapannya dan menerima kedatangannya dengan baik."

Beliau menjawab, "Wahai Aisyah, kapankah engkau melihatku berbuat tidak baik?"

Inilah contoh konkrit dari Sang Uswah Hasanah (suri tauladan yang baik) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya.

Marilah kita kembangkan senyuman sebagai suatu kebiasaan dalam muamalah kita sehari-hari, baik kepada keluarga, saudara, karib kerabat, teman, handai taulan, orang yang berada di lingkungan sekitar kita, dan kepada siapapun bahkan terhadap orang yang membenci kita sekalipun.

"Janganlah kamu menghinakan sedikitpun dari perbuatan ma'ruf, walaupun kamu harus menemui saudaramu dengan wajah yang berseri." (HR. Muslim).

Tetaplah dalam keadaan selalu tersenyum, jauhi dari banyak tertawa secara berkepanjangan dan berlebih-lebihan sehingga mengeluarkan suara yang keras. Ingatlah! Banyak tertawa bisa menghilangkan kharisma dan dapat mematikan hati.

"Janganlah kalian banyak tertawa, karena tertawa itu mematikan hati." (HR. Bukhari dan Ibnu Majah)

____________________________

Sumber:
1. Ahmad Musthafa Qasim ath-Thanthawy, Senyum & Tangis Rasulullah, Pustaka al-Kautsar, Maret, 2001.
2. Detiknews.
3. Imam Nawawi, Riyadush Shalihin, al Maktab al Alami
4. Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi-offline)
5. Khaulah binti Abdul Kadir Darwis, Bagaimana Muslimah Bergaul, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, April, 2001 



ENAM SYARAT MENDAPATKAN ILMU


Wahai teman, Anda tak akan dapat memperoleh ilmu kecuali dengan enam syarat. Akan aku jelaskan perinciannya dengan amat singkat.

Cerdas, semangat, sabar, cukup dana, bimbingan guru , dan waktu yang cukup.



Menuntut ilmu syar'i adalah sebuah kewajiban. Namun untuk mendapatkannya itu tidaklah mudah. Tidaklah ia diperoleh dengan cara instan (cepat). Atau mendapatkannya seperti makanan cepat saji. Sekarang pesan, beberapa menit kemudian jadi. Sangat diperlukan persyaratan tertentu. Inilah 6 (enam) persyaratan yang diucapkan oleh seorang ulama mazhab, Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Wahab bin Utsman bin Syafi'i bin Sa'id Abu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf atau lebih dikenal dengan Imam Syafi'i dengan gelar Nashirus Sunnah (Penolong Sunnah).


1. KECERDASAN

Seorang penuntut ilmu haruslah seorang yang cerdas. Cerdas dalam menangkap materi yang disampaikan para asatidz (guru). Ketika seorang murid sedang menjalani masa belajar, maka dia akan mendapatkan berbagai disiplin ilmu yang sangat membutuhkan konsentrasi bagi para penuntutnya. Ini sangat diperlukan kecerdasan.

Apakah kecerdasan itu? Kecerdasan atau yang biasa dikenal dengan IQ (bahasa Inggris: intelligence quotient) adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. 

Inilah contoh betapa pentingnya kecerdasan itu. Kecerdasan dalam menghafal misalnya.

Lihatlah kecerdasan Imam Bukhari dalam menghafal hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau berkata, "Saya hapal hadits diluar kepala sebanyak 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits yang tidak shahih."

Bahkan ada kisah mengagumkan tentang kekuatan hafalan dan kecerdasan Imam Bukhari rahimahullah. Suatu ketika para ulama hadits Baghdad ingin menguji Imam Bukhari dengan cara mencampur aduk dan memutar balik sanad dan matan 100 buah hadits. Masing-masing ulama yang berjumlah 10 orang tadi membawa sebanyak 10 hadits yang sudah tidak beraturan lagi. Satu persatu dijawab oleh Bukhari dengan jawaban, "Saya tidak mengetahui hadits yang Anda baca tadi!" Sampai kepada ulama yang kesepuluh. Jawaban beliau tetap sama seperti yang pertama, kedua, dan seterusnya.

Setelah selesai para ulama tadi membacakan hadits, kini giliran Imam Bukhari meluruskan hadits yang sebenarnya dengan penyebutan sanad dan matannya. Dari ulama yang pertama sampai yang kesepuluh. Dan itu semua dilakukan di luar kepala.

2 & 3.  SEMANGAT DAN KESABARAN

Thalibul Ilm (penuntut ilmu) sangat memerlukan sekali semangat dan kesabaran dalam belajar. Bagaimana tidak, jika pelajaran yang harus diterima banyak dan memerlukan konsentrasi itu, tetapi semangat kurang atau tidak ada sama sekali. Maka hasilnya pun tidak optimal. Seorang yang cerdas di atas rata-rata sekalipun, ketika tidak memiliki semangat dan kesabaran, maka hasilnya tidak akan maksimal.

Lihatlah semangat dan kesabaran sahabat dan ulama salafus shaleh dalam mencari ilmu.

Sahabat Jabir bin Abdullah al Anshari as-Sulami pernah dikhabarkan kepadanya bahwa ada sebuah hadits tentang qishash yang belum pernah didengar olehnya dan sahabat yang lain kecuali hanya seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Anis al Juhani al Anshari yang menjadi hakim agung di Mesir saat itu.

Beliau lalu pergi ke pasar untuk membeli seekor keledai yang akan dijadikan kendaraan menuju Mesir tempat tinggal sahabat Abdullah bin Anis ini. Beberapa hari kemudian beliau berangkat dari Madinah menuju Mesir sampai memakan waktu berbulan-bulan sambil melewati padang pasir yang luas, jurang yang curam, dan bukit-bukit bebatuan yang terjal.

Sampai akhirnya beliau tiba di Mesir dengan selamat dan bertemu dengan sahabat Abdullah bin Anis al Juhani al Anshari dan berhasil memperoleh keterangan tentang hadits yang dimaksud disertai penjelasan, maksud dan tujuan dari hadits tersebut.

Demikian pula tentang ulama semisal Sa'id bin al Musayyab. Beliau berkata, "Aku pernah bepergian berhari-hari dan bermalam-malam untuk mencari satu hadits." (al Bidayah wan Nihayah 9/10).

Ibnu al Madini mengatakan, dikatakan kepada asy Sya'bi, "Dari mana semua ilmu ini?" Dia mengatakan, "Dengan tidak menggantungkan (pendapat), menempuh perjalanan di beberapa negeri, dengan kesabaran sebagaimana sabarnya tanah dan bekerja sejak pagi hari sebagaimana keluarnya burung gagak (dari sarangnya)." (Tadzkiratul Huffazh 1/81-84)

Abu al 'Aliyah mengatakan, "Kami pernah suatu riwayat dari para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kami berada di Bashrah. Kami tidak merasa puas hingga kami berkendaraan menuju Madinah dan kami mendengar riwayat-riwayat tersebut dari mulut mereka." (al Kifayah fi Ilmir Riwayah 403)

Abu Zakaria at Tibrizi, seorang ulama besar dalam sastra Arab, nahwu, bahasa, dan yang lainnya pernah memanggul keranjang yang berisi kitab-kitab yang akan beliau tahqiq kepada seorang ulama ahli bahasa al Ma'arri. Dia memanggulnya dari Tibriz sampai al Ma'ararah. Tidak sesuatu untuk membayar biaya kendaraan sehingga keringatnya bercucuran mengenai kitab-kitab yang beliau bawa. Sementara orang-orang yang ada di Baghdad mengira kitab-kitab tersebut basah akibat tenggelam di dalam air, padahal itu semua basah karena keringat beliau. (Wafiyyatul A'yan 2/233).

Sementara itu, Imam Syafi'i ketika belajar pernah mengalami kondisi sulit ekonomi, ia tidak mampu membeli kertas dan tinta, sehingga ditulisnya pelajaran pada tulang-tulang dan sobekan kertas bekas. Meskipun demikian, beliau tetap bersemangat dalam menekuni pelajarannya, bahkan merasakan kebahagiaan tersendiri. Hal ini beliau ungkapkan dalam sebuah maqolahnya:

"Tiada kebahagiaan dalam menuntut ilmu kecuali mereka yang ketika belajar dalam kondisi serba kekurangan."

4. CUKUP DANA

Dana atau finansial adalah salah satu elemen dalam belajar yang tidak boleh diremehkan oleh penuntut ilmu. Mengapa demikian? Dalam belajar itu sangat diperlukan berbagai macam kelengkapan seperti buku, pensil, pulpen, muqarrar (kitab-kitab panduan), kendaraan, biaya transportasi dan lain sebagainya.

Lihatlah keadaan para ulama dahulu ketika masa-masa mereka belajar .

Imam Ahmad sampai rela menjual satu-satunya baju yang dipakai untuk keperluan membeli alat tulis untuk mencatat ilmu hadits yang diambil dari gurunya.

Abul Abbas al Jurjanji mengatakan, "Abu Ishaq asy Syiraji pernah tidak memiliki harta benda dunia walaupun sampai dia benar-benar menjadi seorang fakir, tidak punya makanan maupun pakaian. Kami pun mendatanginya dan dia tinggal di al Qathi'ah. Ia menyambut kami dengan setengah berdiri dan tidak dapat tegak karena telanjang (pakaian tidak cukup untuk berdiri tegak) supaya tidak terlihat.(Thabaqatusy Syafi'iyyatul Kubra 3/90).

5. BIMBINGAN GURU

Guru adalah sumber utama dalam belajar. Dalam belajar ilmu syar'i haruslah dengan bimbingan seorang guru. Bagaimana mungkin ia akan mendapatkan ilmu yang benar sementara dia belajar hanya dengan membaca buku? Belajar dengan otodidak. Sedangkan ilmu itu harus dijabarkan sesuai dengan pemahaman yang benar.


Lihat para salafus shalih terdahulu, mereka menimba ilmu din ini dengan cara bertalaqqi (bertemu/belajar langsung) dari sang guru walaupun harus berbulan-bulan untuk mendapatkannya.

Imam Bukhari rahimahullah berguru kepada 1.008 orang guru. Beliau mengatakan, "Aku menulis hadits dari 1.080 guru, yang semuanya adalah ahli hadits dan berpendirian bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan."

Diantara guru Imam Bukhari yang terkenal adalah Ali al Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main, Muhammad bin Yusuf al Firyabi, Maki bin Ibrahim al-Balkhi, Muhammad bin Yusuf al-Baykandi, dan Ibnu Rahawaih. Jumlah guru yang haditsnya diriwayatkan dalam kitab shahihnya sebanyak 289 guru.

Seseorang pernah bertanya kepada Imam ahmad, "Seseorang yang mencari ilmu, apakah harus belajar terus menerus kepada seorang guru yang banyak ilmu, ataukah berpindah-pindah?". Beliau menjawab,"Sebaiknya ia mengembara untuk mencatat hadits dari para ulama yang tersebar di beberapa kota."

6. WAKTU YANG CUKUP

Menjadi seorang yang berilmu tidaklah seperti orang yang membalikkan telapak tangan. Cepat dan sangat cepat, akan tetapi diperlukan waktu yang cukup untuk menjadikan dia sebagai seorang yang alim. Tidaklah seorang yang alim hanya dengan belajar selama sebulan. Atau hanya dengan mengikuti kursus atau pelatihan selama tiga bulan. Atau seseorang yang mengikuti workshop untuk menjadi seorang juru dakwah, da'i atau khatib dengan hanya belajar selama beberapa bulan saja.

Bayangkan berapa lama Imam Syafi'i harus belajar kepada Imam Malik untuk belajar al Muwatha'? Berapa lama ia belajar kepada Imam Waki' , belajar kepada Sufyan bin Uyainah, serta belajar kepada para ulama lain di zamannya? Berapa lama pula dia harus melakukan perjalanan ke Baghdad, Mesir, dan negeri yang lainnya?

Lihat pula berapa lama Imam Bukhari yang harus mendatangi 1.080 orang guru ahli hadits dan berapa tempat yang harus beliau singgahi? 

Perhatikan perkataan Imam Bukhari berikut:

"Saya telah pergi ke Syam, Mesir, Jazirah dua kali, Basrah empat kali, dan saya bermukim di Hijaz selama enam tahun, dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya pergi ke Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama hadits."

Lihat pula ulama seperti Sa'id bin Musayyab yang melakukan perjalanan hanya untuk mengambil satu hadits dengan memakan waktu sebulan. Itu satu hadits, bagaimana dengan hadits yang lain?

Jadi untuk menjadi seorang yang mumpuni dan alim dalam bidangnya, tentunya sangat diperlukan waktu yang cukup, tidak dengan cara tiba-tiba, dia menjadi ulama ternama dan disegani pada zamannya.

Semoga enam persyaratan di atas menjadi pemicu sekaligus penyemangat bagi kita dalam menuntut ilmu. Kiranya untuk mendapatkan ilmu yang benar sangatlah diperlukan persyaratan-persyaratan di atas. Dan ingat,Tidak ada batasan waktu dalam menuntut ilmu syar'i! Tetaplah belajar dan belajar, kemudian amalkan sampai datang Sang Pemutus Kenikmatan, yaitu kematian.
______________________________

Sumber:
a. Ali Hasan Abdul Hamid, Kembali Kepada Sunnah, al Uswah, 1417H -197M.
b. DR. M.M. Abu Syuhbah, Kutubus Sittah, Pustaka Progressif, Januari, 1999.
c. Muhammad Shaleh Farfur, Tokoh Pengharum Panji Islam, Pustaka Azzam, Mei, 2011.
d. Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas.
e. Yusuf  as Syaikh Muhammad al Baqi, Koleksi Syair Imam Syafi'i, Pustaka Amani, Jakarta, Rabi'ul Akhir 1415H - September 1995.




Kamis, 22 November 2012

PERTAHANKAN SUNNAH WALAUPUN CACIAN MENERJANG


Melaksanakan sunnah di akhir zaman ini sungguh sangat berat. Bahkan dalam pelaksanaannya tidak sedikit yang mendapatkan intimidasi dari saudara-saudara kita sesama muslim yang boleh kita katakan mereka kebanyakan belum mengetahui.
Sementara subhat-subhat setiap saat berkeliaraan di lingkungan pengajian atau obrolan mereka sehingga memotivasi mereka untuk mengucilkan Ahlus Sunnah.

Melaksanakan sunnah di era globalisasi ini termasuk orang-orang yang beruntung. Sungguh sangat beruntung. Mengapa dikatakan beruntung? Inilah jawabannya:

Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam bersabda:

"Islam itu pada awalnya ajaran yang asing, dan nantinya ia akan kembali menjadi asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah orang-orang yang asing itu." (HR. Muslim no. 145)

Di antara sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang begitu asing yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat adalah memelihari serta memanjangkan jenggot.

Bagaimana pandangan Islam terhadap orang yang memelihara jenggot?

Lihatlah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ini:

"Selisihilah kaum musyrikin, biarkan jenggot panjang, dan potonglah kumis kalian." (HR. Bukhari no. 5892)

"Potong tipislah kumis, dan biarkanlah jenggot kalian." (HR. Bukhari no. 5893).

"Potonglah kumis kalian, biarkanlah jenggot, dan selisilah kaum Majusi." (HR. Muslim no. 260).

Ibnu Umar radiyallahu anhu mengatakan: "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk memangkas tipis kumis dan membiarkan jenggot panjang." (HR. Muslim no. 259).

Itulah beberapa nash-nash hadits tentang perintah berjenggot. Dalam kaidah Ushul Fiqh dikatak, "Setiap perintah dalam nash-nash syariat itu menunjukkan suatu kewajiban, dan haram bagi kita menyelisinya, kecuali ada dalil khusus yang merubahnya menjadi tidak wajib." 

Jadi hukum berjenggot itu wajib berdasarkan nash-nash yang shahih lagi sharih.

Namun demikian karena ketidaktahuan sebagian saudara kita sesama muslim, hingga akhirnya mereka mengejek saudaranya, yang sebenarnya kalau difahami, sebenarnya itu sama saja dengan mengejek ajaran agamanya.

Banyak ejekan-ejekan yang dilayangkan kepada saudara kita yang berjenggot dengan berbagai julukan seperti si Kambing, si Jenggot atau yang lainnya. Hal itu pernah dialami oleh Haji Agus Salim, seorang tokoh nasional Indonesia.

Ada satu kisah menarik yang terjadi antara Sjahrir dan Haji Agus Salim (tokoh yang terkenal memiliki jenggot). Peristiwa ini terjadi sebelum kemerdekaan.

Inilah penuturan Sjahrir:

"Kami, sekelompok besar pemuda, bersama-sama mendatangi rapat di mana Pak Salim akan berpidato dengan maksud mengacaukan pertemuan itu. Pada waktu itu Pak Salim telah berjanggut kambing yang terkenal itu, dan setiap kalimat yang diucapkan pak haji disambut oleh kami dengan mengembik yang dilakukan bersama-sama. Setelah untuk ketiga kalinya kami menyahut dengan, "Me, me, me", maka Pak Salim mengangkat tangannya seraya berkata, "Tunggu sebentar. Bagi saya itu suatu hal yang sangat menyenangkan bahwa kambing-kambing pun telah mendatangi ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya. Hanya sayang sekali bahwa mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga mereka menyela dengan cara yang kurang pantas. Jadi saya sarankan agar untuk sementara mereka tinggalkan ruangan ini untuk sekedar makan rumput di lapangan. Sesudah pidato saya ini yang ditujukan kepada manusia selesai, mereka akan dipersilakan masuk kembali dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing khusus untuk mereka. Karena di dalam agama Islam bagi kambing pun ada amanatnya dan saya menguasai banyak bahasa." (Lihat  Buku Seratus Tahun Haji Agus Salim. Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1996, hal: 110-111).

Sejak saat itu Sjahrir dan teman-temannya tidak lagi mencoba untuk mencemoohkannya.

Bagaimana gambaran jenggotnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para Nabi serta para salafus shalih?  


1. Jenggotnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Jabir bin Samurah berkata: Rasulullah dulu telah muncul sedikit uban di bagian depan rambut kepala dan jenggotnya. Jika beliau meminyaki rambutnya, uban itu tidak tampak, tetapi jika rambutnya kering, uban itu tampak. Dan beliau adalah seorang yang banyak rambut jenggotnya. (HR. Muslim)

Ali radhiyallah anhu berkata: Rasulullah adalah seorang yang besar jenggotnya (HR. Ahmad)

Dalam riwayat lain: Rasulullah adalah seorang yang lebat jenggotnya. (HR.Ahmad)

Dan masih banyak riwayat lain yang menyebutkan bahwa Nabi kita memiliki jenggot yang besar lagi lebat.

2. Gambaran jenggotnya para Nabi alaihimus salam. 

Raja Hiraql memperlihatkan gambar wajah para Nabi di atas potongan kain sutra dengan menyebutkan sifat-sifat mereka. Nabi Nuh jenggotnya bagus, Nabi Ibrahim jenggotnya putih, Nabi Ishak tipis jenggot bagian sampinganya, Nabi ya'qub mirip dengan ayahnya, Nabi Ishaq, dan Nabi Isa alaihis salam jenggotnya sangat hitam. (Tafsir Ibnu katsir 3/484. Beliau mengatakan: "Sanadnya la ba'sa bih").

Sementara jenggotnya Nabi Harun digambarkan Al Qur'an:

"Wahai putra ibuku, jangan kau tarik (rambut) jenggotku dan kepalaku." QS. Thoha: 94)

Dalil ini sangat jelas bahwa Nabi Harun dahulu memiliki jenggot yang panjang.

3. Jenggotnya Salafus Shaleh (Khulafa' Rasyidin)

Disebutkan bahwa jenggotnya Abu Bakar itu bagian sampingnya tipis, Umar bagian pinggir jenggotnya tipis, dan tebal bagian depannya. Sementara itu Utsman adalah seorang yang jenggotnya besar, panjang lagi tampan orangnya. Sedangkan Ali adalah seorang sahabat yang banyak rambutnya dan besar jenggotnya. (Riwayat-riwayat ini dapat dilihat pada kitab al-Khulafa ar-Rasyidun karya adz Zahabi, Tarikhul Khulafa karya as Suyuthi, ath thabaqat al Kubra, dan ash shofwatush Shofwah karya Ibnul Jauzi).

Inilah contoh para sahabat pilhan dalam mengamalkan sunnah. Sementara Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda:

"Ambilah tuntunanku dan tuntunan khulafa'  rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah tuntunan-tuntunan itu dengan gigi-gigi geraham kalian!"

Bagaimana sikap kita dalam menghadapi cacian atau hinaan terhadap sunnah Nabi ini?

Kalaupun ada ejekan, hinaan, serta makian terhadap diri kita, itu adalah sunnatullah. Ujian bagi keimanan kita. Bukankah Allah mengatakan dalam Al Qur'an surat al Ankabut ayat 2&3?


|=Å¡ymr& â¨$¨Z9$# br& (#þqä.uŽøIムbr& (#þqä9qà)tƒ $¨YtB#uä öNèdur Ÿw tbqãZtFøÿムÇËÈ  

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?"

ôs)s9ur $¨ZtFsù tûïÏ%©!$# `ÏB öNÎgÎ=ö6s% ( £`yJn=÷èun=sù ª!$# šúïÏ%©!$# (#qè%y|¹ £`yJn=÷èus9ur tûüÎ/É»s3ø9$# ÇÌÈ  

"Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta."

Bukankah Rasulullah sang pembawa wahyu pun pernah diintimidasi, dihina, dicaci, bahkan diberikan julukan-julukan buruk seperti tukang sihir, orang gila, dan sebagainya?

Kisah Haji Agus Salim di atas juga memberikan pelajaran berarti bagi kita dalam menghadapi permasalahan ini.Itulah jawaban diplomatis sang tokoh, Haji Agus Salim ini ketika menerima ejekan. 
Bagaimana dengan kita? Ketika kita belum sanggup menyampaikan hujjah berupa dalil-dalil kewajiban memanjang jenggot, alangkah baiknya kita jangan terpancing emosi. Ejekan, cibiran itu insya Allah akan berlalu. Sikap kita adalah sabar. Namun ketika ada kesempatan memberikan nasihat, lakukanlah dengan lemah lembut, dengan bahasa yang sopan lagi dimengerti. Jika kita tidak mampu memberikan pemahaman melalui lisan, berikan atau minimal pinjamkan kepada mereka buku, majalah, buletin, atau CD tentang pembahasan jenggot dan seluk beluknya.

Memelihara jenggot bukan hanya mengikuti sunnah semata, tetapi hakekatnya kita itu sedang berdakwah. Tidak bisa berdakwah dengan lisan, maka dengan cara yang lain, bil hal (keadaan).

Terkadang dakwah bil hal lebih mengena ketimbang bil lisan. Masyarakat itu lebih melihat perilaku bukan omongan seseorang.

Memang ketika awal melaksanakan sunnah ini, terasa berat. Kita melihat sepanjang jalan, mata memperhatikan kita. Di awal mungkin ada yang membicarakan dan memandang kita. Apakah itu sehari, seminggu atau sebulan? Namun lambat laun, ketika mereka sudah kenal dengan kita dan kita pun sering bermuamalah dengan mereka, maka yang tadinya asing, maka akan menjadi terbiasa.

Tetaplah mengamalkan sunnah walaupun rintangan datang silih berganti, baik yang datangnya dari keluarga; ayah, ibu, suami atau isteri, kerabat, teman sejawat, dan lingkungan tempat tinggal. Tidak inginkah kita termasuk golongan yang disebut dalam hadits di atas? Thuba lil ghuraba.