Kamis, 22 November 2012

PERTAHANKAN SUNNAH WALAUPUN CACIAN MENERJANG


Melaksanakan sunnah di akhir zaman ini sungguh sangat berat. Bahkan dalam pelaksanaannya tidak sedikit yang mendapatkan intimidasi dari saudara-saudara kita sesama muslim yang boleh kita katakan mereka kebanyakan belum mengetahui.
Sementara subhat-subhat setiap saat berkeliaraan di lingkungan pengajian atau obrolan mereka sehingga memotivasi mereka untuk mengucilkan Ahlus Sunnah.

Melaksanakan sunnah di era globalisasi ini termasuk orang-orang yang beruntung. Sungguh sangat beruntung. Mengapa dikatakan beruntung? Inilah jawabannya:

Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam bersabda:

"Islam itu pada awalnya ajaran yang asing, dan nantinya ia akan kembali menjadi asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah orang-orang yang asing itu." (HR. Muslim no. 145)

Di antara sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang begitu asing yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat adalah memelihari serta memanjangkan jenggot.

Bagaimana pandangan Islam terhadap orang yang memelihara jenggot?

Lihatlah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ini:

"Selisihilah kaum musyrikin, biarkan jenggot panjang, dan potonglah kumis kalian." (HR. Bukhari no. 5892)

"Potong tipislah kumis, dan biarkanlah jenggot kalian." (HR. Bukhari no. 5893).

"Potonglah kumis kalian, biarkanlah jenggot, dan selisilah kaum Majusi." (HR. Muslim no. 260).

Ibnu Umar radiyallahu anhu mengatakan: "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk memangkas tipis kumis dan membiarkan jenggot panjang." (HR. Muslim no. 259).

Itulah beberapa nash-nash hadits tentang perintah berjenggot. Dalam kaidah Ushul Fiqh dikatak, "Setiap perintah dalam nash-nash syariat itu menunjukkan suatu kewajiban, dan haram bagi kita menyelisinya, kecuali ada dalil khusus yang merubahnya menjadi tidak wajib." 

Jadi hukum berjenggot itu wajib berdasarkan nash-nash yang shahih lagi sharih.

Namun demikian karena ketidaktahuan sebagian saudara kita sesama muslim, hingga akhirnya mereka mengejek saudaranya, yang sebenarnya kalau difahami, sebenarnya itu sama saja dengan mengejek ajaran agamanya.

Banyak ejekan-ejekan yang dilayangkan kepada saudara kita yang berjenggot dengan berbagai julukan seperti si Kambing, si Jenggot atau yang lainnya. Hal itu pernah dialami oleh Haji Agus Salim, seorang tokoh nasional Indonesia.

Ada satu kisah menarik yang terjadi antara Sjahrir dan Haji Agus Salim (tokoh yang terkenal memiliki jenggot). Peristiwa ini terjadi sebelum kemerdekaan.

Inilah penuturan Sjahrir:

"Kami, sekelompok besar pemuda, bersama-sama mendatangi rapat di mana Pak Salim akan berpidato dengan maksud mengacaukan pertemuan itu. Pada waktu itu Pak Salim telah berjanggut kambing yang terkenal itu, dan setiap kalimat yang diucapkan pak haji disambut oleh kami dengan mengembik yang dilakukan bersama-sama. Setelah untuk ketiga kalinya kami menyahut dengan, "Me, me, me", maka Pak Salim mengangkat tangannya seraya berkata, "Tunggu sebentar. Bagi saya itu suatu hal yang sangat menyenangkan bahwa kambing-kambing pun telah mendatangi ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya. Hanya sayang sekali bahwa mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga mereka menyela dengan cara yang kurang pantas. Jadi saya sarankan agar untuk sementara mereka tinggalkan ruangan ini untuk sekedar makan rumput di lapangan. Sesudah pidato saya ini yang ditujukan kepada manusia selesai, mereka akan dipersilakan masuk kembali dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing khusus untuk mereka. Karena di dalam agama Islam bagi kambing pun ada amanatnya dan saya menguasai banyak bahasa." (Lihat  Buku Seratus Tahun Haji Agus Salim. Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1996, hal: 110-111).

Sejak saat itu Sjahrir dan teman-temannya tidak lagi mencoba untuk mencemoohkannya.

Bagaimana gambaran jenggotnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para Nabi serta para salafus shalih?  


1. Jenggotnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Jabir bin Samurah berkata: Rasulullah dulu telah muncul sedikit uban di bagian depan rambut kepala dan jenggotnya. Jika beliau meminyaki rambutnya, uban itu tidak tampak, tetapi jika rambutnya kering, uban itu tampak. Dan beliau adalah seorang yang banyak rambut jenggotnya. (HR. Muslim)

Ali radhiyallah anhu berkata: Rasulullah adalah seorang yang besar jenggotnya (HR. Ahmad)

Dalam riwayat lain: Rasulullah adalah seorang yang lebat jenggotnya. (HR.Ahmad)

Dan masih banyak riwayat lain yang menyebutkan bahwa Nabi kita memiliki jenggot yang besar lagi lebat.

2. Gambaran jenggotnya para Nabi alaihimus salam. 

Raja Hiraql memperlihatkan gambar wajah para Nabi di atas potongan kain sutra dengan menyebutkan sifat-sifat mereka. Nabi Nuh jenggotnya bagus, Nabi Ibrahim jenggotnya putih, Nabi Ishak tipis jenggot bagian sampinganya, Nabi ya'qub mirip dengan ayahnya, Nabi Ishaq, dan Nabi Isa alaihis salam jenggotnya sangat hitam. (Tafsir Ibnu katsir 3/484. Beliau mengatakan: "Sanadnya la ba'sa bih").

Sementara jenggotnya Nabi Harun digambarkan Al Qur'an:

"Wahai putra ibuku, jangan kau tarik (rambut) jenggotku dan kepalaku." QS. Thoha: 94)

Dalil ini sangat jelas bahwa Nabi Harun dahulu memiliki jenggot yang panjang.

3. Jenggotnya Salafus Shaleh (Khulafa' Rasyidin)

Disebutkan bahwa jenggotnya Abu Bakar itu bagian sampingnya tipis, Umar bagian pinggir jenggotnya tipis, dan tebal bagian depannya. Sementara itu Utsman adalah seorang yang jenggotnya besar, panjang lagi tampan orangnya. Sedangkan Ali adalah seorang sahabat yang banyak rambutnya dan besar jenggotnya. (Riwayat-riwayat ini dapat dilihat pada kitab al-Khulafa ar-Rasyidun karya adz Zahabi, Tarikhul Khulafa karya as Suyuthi, ath thabaqat al Kubra, dan ash shofwatush Shofwah karya Ibnul Jauzi).

Inilah contoh para sahabat pilhan dalam mengamalkan sunnah. Sementara Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda:

"Ambilah tuntunanku dan tuntunan khulafa'  rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah tuntunan-tuntunan itu dengan gigi-gigi geraham kalian!"

Bagaimana sikap kita dalam menghadapi cacian atau hinaan terhadap sunnah Nabi ini?

Kalaupun ada ejekan, hinaan, serta makian terhadap diri kita, itu adalah sunnatullah. Ujian bagi keimanan kita. Bukankah Allah mengatakan dalam Al Qur'an surat al Ankabut ayat 2&3?


|=Å¡ymr& â¨$¨Z9$# br& (#þqä.uŽøIムbr& (#þqä9qà)tƒ $¨YtB#uä öNèdur Ÿw tbqãZtFøÿムÇËÈ  

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?"

ôs)s9ur $¨ZtFsù tûïÏ%©!$# `ÏB öNÎgÎ=ö6s% ( £`yJn=÷èun=sù ª!$# šúïÏ%©!$# (#qè%y|¹ £`yJn=÷èus9ur tûüÎ/É»s3ø9$# ÇÌÈ  

"Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta."

Bukankah Rasulullah sang pembawa wahyu pun pernah diintimidasi, dihina, dicaci, bahkan diberikan julukan-julukan buruk seperti tukang sihir, orang gila, dan sebagainya?

Kisah Haji Agus Salim di atas juga memberikan pelajaran berarti bagi kita dalam menghadapi permasalahan ini.Itulah jawaban diplomatis sang tokoh, Haji Agus Salim ini ketika menerima ejekan. 
Bagaimana dengan kita? Ketika kita belum sanggup menyampaikan hujjah berupa dalil-dalil kewajiban memanjang jenggot, alangkah baiknya kita jangan terpancing emosi. Ejekan, cibiran itu insya Allah akan berlalu. Sikap kita adalah sabar. Namun ketika ada kesempatan memberikan nasihat, lakukanlah dengan lemah lembut, dengan bahasa yang sopan lagi dimengerti. Jika kita tidak mampu memberikan pemahaman melalui lisan, berikan atau minimal pinjamkan kepada mereka buku, majalah, buletin, atau CD tentang pembahasan jenggot dan seluk beluknya.

Memelihara jenggot bukan hanya mengikuti sunnah semata, tetapi hakekatnya kita itu sedang berdakwah. Tidak bisa berdakwah dengan lisan, maka dengan cara yang lain, bil hal (keadaan).

Terkadang dakwah bil hal lebih mengena ketimbang bil lisan. Masyarakat itu lebih melihat perilaku bukan omongan seseorang.

Memang ketika awal melaksanakan sunnah ini, terasa berat. Kita melihat sepanjang jalan, mata memperhatikan kita. Di awal mungkin ada yang membicarakan dan memandang kita. Apakah itu sehari, seminggu atau sebulan? Namun lambat laun, ketika mereka sudah kenal dengan kita dan kita pun sering bermuamalah dengan mereka, maka yang tadinya asing, maka akan menjadi terbiasa.

Tetaplah mengamalkan sunnah walaupun rintangan datang silih berganti, baik yang datangnya dari keluarga; ayah, ibu, suami atau isteri, kerabat, teman sejawat, dan lingkungan tempat tinggal. Tidak inginkah kita termasuk golongan yang disebut dalam hadits di atas? Thuba lil ghuraba.