Tasbih terbuat dari berbagai jenis bahan dasarnya. Ada yang terbuat dari bahan kayu, plastik, manik-manik dsb. bahan-bahan yang sudah jadi tersebut dirangkai sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti lingkaran dan disebut dengan Tasbih. Jumlah manik-manik yang ada dalam lingkaran tersebut terkadang berjumlah 99 butir, 33 butir atau jumlah yang lainnya.
Kalau melihat dari defenisi Tasbih di atas jelas yang menggunakan alat ini adalah sebagian kaum muslimin. kaum muslimin biasanya mempergunakannya untuk membaca kalimat tasbih, tahmid, takbir, tahlil atau bacaan dzikir lainnya. Namun jangan dikira bahwa sebagian kaum muslimin saja yang memakainya. Ternyata umat lain pun menggunakannya.
Lalu bagaimana pendapat para ulama tentang penggunaan tasbih ini. Mari kita ikuti pendapat mereka:
Pertama, Sebagian
ulama membolehkannya. Inilah pendapat yang Umum
Berkata Ibnu Nujaim Al Hanafi dalam kitab al
Bahri al Râiq sebagai komentar terhadap Hadits Nabi tentang berdzikir dengan
biji-biji tasbih:
Adapun
dalil kebolehannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmidzi,
An Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, dia berkata: shahih sanadnya.
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ
“Bahwa
dia (Sa’ad) bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui
seorang wanita, dan dihadapan wanita itu terdapat biji-bijian atau kerikil.
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Maukah kau aku
beritahu dengan yang lebih mudah bagimu dari ini atau lebih utama? (Lalu nabi
menyebutkan macam-macam dzikir yang tertulis dalam teks di atas ..)
Al Imâm al Syaukânî membahas hadits-hadits
terkait biji-bijian tasbih dan berkomentar sebagai berikut
بأن الأنامل مسئولات مستنطقات يعني أنهن يشهدن بذلك فكان عقدهن بالتسبيح من هذه الحيثية أولى من السبحة والحصى . والحديثان الآخران يدلان على جواز عد التسبيح بالنوى والحصى وكذا بالسبحة لعدم الفارق لتقريره صلى اللَّه عليه وآله وسلم للمرأتين على ذلك . وعدم إنكاره والإرشاد إلى ما هو أفضل لا ينافي الجواز
“ …
sesungguhnya ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara, yakni mereka
akan menjadi saksi hal itu. Maka, menghimpun (menghitung) tasbih dengan jari
adalah lebih utama dibanding dengan untaian biji tasbih dan kerikil. Dua hadits
yang lainnya, menunjukkan bolehnya menghitung tasbih dengan biji, kerikil, dan
juga dengan untaian biji tasbih karena tidak ada bedanya, dan ini perbuatan
yang ditaqrirkan (didiamkan/disetujui) oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam terhadap dua wanita tersebut atas perbuatan itu. Dan, hal yang
menunjukkan dan mengarahkan kepada hukum yang lebih utama tidak berarti
menghilangkan hukum boleh.”
وَفِي الْحَدِيثِ مَشْرُوعِيَّةُ عَقْدِ التَّسْبِيحِ
بِالْأَنَامِلِ وَعَلَّلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ يَسِيرَةَ الَّذِي أَشَارَ إِلَيْهِ التِّرْمِذِيُّ بِأَنَّ
الْأَنَامِلَ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ يَعْنِي أَنَّهُنَّ يَشْهَدْنَ
بِذَلِكَ ، فَكَانَ عَقْدُهُنَّ بِالتَّسْبِيحِ مِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ
أَوْلَى مِنْ السُّبْحَةِ وَالْحَصَى ، وَيَدُلُّ عَلَى جَوَازِ عَدِّ
التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى حَدِيثُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ
دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى اِمْرَأَةٍ
وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ الْحَدِيثَ ، وَحَدِيثُ
صَفِيَّةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا الْحَدِيثَ
.
“Hadits ini menunjukkan disyariatkannya bertasbih menggunakan ujung jari jemari, alasan hal ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits Yusairah yang diisyaratkan oleh At Tirmidzi bahwa ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara, yakni mereka akan menjadi saksi hal itu. Dalam hal ini, menghitung tasbih dengan menggunakan ujung jari adalah lebih utama dibanding dengan subhah (untaian biji tasbih) dan kerikil. Dalil yang menunjukkan kebolehan menghitung tasbih dengan kerikil dan biji-bijian adalah hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa beliau bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui seorang wanita yang dihadapannya terdapat biji-biji atau kerikil yang digunakannya untuk bertasbih (Al Hadits). Dan juga hadits Shafiyah bin Huyai, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemuiku dan dihadapanku ada 4000 biji-bijian yang aku gunakan untuk bertasbih. (Al Hadits).”
Syaikh
Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz Al Hambali Rahimahullah pernah
ditanya tentang seseorang yang berdzikir setelah shalat menggunakan subhah,
bid’ahkah?
Beliau menjawab:
المسبحة لا ينبغي فعلها ، تركها أولى وأحوط ، والتسبيح بالأصابع أفضل ، لكن يجوز له لو سبح بشيء كالحصى أو المسبحة أو النوى ، وتركها ذلك في بيته ، حتى لا يقلده الناس فقد كان بعض السلف يعمله ، والأمر واسع لكن الأصابع أفضل في كل مكان ، والأفضل باليد اليمنى ، أما كونها في يده وفي المساجد فهذا لا ينبغي ، أقل الأحوال الكراهة
“Berzikir
dengan subhah tidak patut dilakukan, meninggalkannya adalah lebih utama dan
lebih hati-hati. Tetapi boleh baginya kalau bertasbih menggunakan kerikil atau
misbahah (alat tasbih) atau biji-bijian dan meninggalkan subhah tersebut
dirumahnya, agar manusia tidak mentaklidinya. Dahulu para salaf -pun
melakukannya. Masalah ini lapang, tetapi menggunakan jari adalah lebih
utama pada setiap tempat, dan utamanya dengan tangan kanan. Ada pun
membawanya ditangan ke masjid, sepatutnya jangan dilakukan, minimal hal
itu makruh.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin pernah
ditanya tentang hadits: ‘Setiap bid’ah
adalah sesat’, artinya tidak ada bid’ah kecuali sesat dan tidak ada bid’ah
yang baik, bahkan setiap bid’ah adalah sesat.
Pertanyaan: apakah tasbih dipandang sebagai bid’ah? Apakah ia termasuk bid’ah yang baik atau yang sesat?
Pertanyaan: apakah tasbih dipandang sebagai bid’ah? Apakah ia termasuk bid’ah yang baik atau yang sesat?
Beliau menjawab: tasbih tidak termasuk bid’ah
dalam agama, karena manusia tidak bertujuan beribadah kepada Allah dengannya. Tujuannya hanya untuk menghitung jumlah tasbih yang dibacanya, atau
tahlil, atau tahmid, atau takbir. Maka ia termasuk sarana, bukan tujuan. Akan tetapi yang lebih utama darinya adalah
bahwa seseorang menghitung tasbih dengan jari jemarinya: karena
ia adalah petunjuk dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam.
o Karena
menghitung tasbih dan yang lainnya dengan alat tasbih bisa membawa kepada
kelalaian. Sesungguhnya kita menyaksikan kebanyakan orang-orang yang
menggunakan tasbih, mereka bertasbih sedangkan mata mereka menoleh ke sana ke
sini, karena telah menjadikan jumlah tasbih menurut jumlah yang mereka inginkan
dari tasbihnya atau tahlilnya atau tahmidnya atau takbirnya. Maka engkau
mendapatkan mereka menghitung biji-bii tasbih ini dengan tangannya, sedangkan
hatinya lupa sambil menoleh ke kanan dan kiri. Berbeda dengan orang yang
menghitungnya dengan jemarinya, maka biasanya hal itu lebih menghadirkan
hatinya.
o Alasan
ketiga: sesungguhnya menggunakan tasbih bisa membawa kepada riya. Sesungguhnya
kita menemukan kebanyakan orang yang menyukai banyak bertasbih, menggantungkan
di leher mereka tasbih yang panjang. Seolah-olah mereka berkata: lihatlah
kepada kami, sesungguhnya kami bertasbih kepada Allah sejumlah bilangan
ini. Aku meminta ampun kepada Allah dalam menuduh mereka seperti ini, akan
tetapi dikhawatirkan terjadinya hal itu.
Tiga alasan ini menuntut manusia agar
meninggalkan tasbih dengan biji tasbih ini dan hendaklah ia bertasbih kepada
Allah subhaanahu wa ta'alaa dengan jari jemarinya.
Kemudian, sesungguhnya yang utama agar
menghitung tasbih dengan jari tangan kanannya, karena Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menghitung
tasbih dengan tangan kanannya, dan tanpa diragukan lagi yang kanan lebih baik
dari pada yang kiri. Karena inilah yang kanan lebih diutamakan atas yang kiri.
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam melarang seseorang makan atau minum dengan tangan kirinya dan menyuruh
manusia makan dengan tangan kanannya. Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:
يَا غُلاَمُ, سَمِّ اللهَ وَكُلْ
بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
“Wahai gulam (anak kecil), bacalah bismillah, makanlah dengan
tangan kananmu dan makanlah yang dekat denganmu.”
Dan beliau shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ
فَلْيَأْكُلْ بِيَمِيْنِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِيْنِهِ فَإِنَّ
الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ
“Apabila seseorang darimu makan maka hendaklah ia makan dengan
tangan kanannya, dan apabila minum hendaklah ia minum dengan tangan kanannya.
Sesungguhnya syetan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya.”
Tangan kanan lebih utama
dengan tasbih daripada tangan kiri karena mengikuti sunnah dan mengambil dengan
kanan. Dan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menyukai yang kanan dalam memakai sendal, bersisir, bersuci
dan dalam seluruh perkaranya. Atas dasar inilah, maka membaca tasbih dengan
alat tasbih tidak termasuk bid’ah dalam agama, namun hanya sebagai sarana untuk
mencatat hitungan. Ia merupakan sarana yang tidak utama, dan yang utama darinya
adalah menghitung tasbih dengan jemarinya.
Kedua, sebagian
ulama menganggapnya Mustahab
Imam
Muhammad Abdurrauf Al Munawi Rahimahullah menjelaskan
dalam kitab Faidhul Qadir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, ketika menerangkan hadits
Yusairah:
وهذا أصل في ندب السبحة المعروفة وكان ذلك معروفا بين الصحابة فقد أخرج عبد الله بن أحمد أن أبا هريرة كان له خيط فيه ألفا عقدة فلا ينام حتى يسبح به وفي حديث رواه الديلمي نعم المذكر السبحة لكن نقل المؤلف عن بعض معاصري الجلال البلقيني أنه نقل عن بعضهم أن عقد التسبيح بالأنامل أفضل لظاهر هذا الحديث
“Hadits
ini merupakan dasar terhadap sunahnya subhah (untaian biji tasbih) yang sudah
dikenal. Hal itu dikenal pada masa sahabat, Abdullah bin Ahmad telah
meriwayatkan bahwa Abu Hurairah memiliki benang yang memiliki seribu himpunan,
beliau tidaklah tidur sampai dia bertasbih dengannya. Dalam riwayat Ad Dailami:
“Sebaik-baiknya dzikir adalah subhah.” Tetapi mu’allif (yakni Imam As Suyuthi)
mengutip dari sebagian ulama belakangan, Al Jalal Al Bulqini, dari sebagian
mereka bahwa menghitung tasbih dengan jari jemari adalah lebih utama sesuai
zhahir hadits.”
Ketiga, Sebagian
Ulama secara tegas melarang dan membid’ahkan penggunaan Tasbih untuk berdzikir.
Inilah yang masyhur dari pendapat al Imâm al
Albâni dan murid-muridnya. Pendapat Ini juga didukung oleh Syaikh Abdul Muhsin
Al ‘Abbad Al Badr. Bahkan syaikh Bakr Abu Zaid memiliki risalah khusus yang
menegaskan larangan menggunakan biji-bijian tasbih dalam menghitung Dzikir.
Dalil-dalil mereka adalah sebagai berikut:
1. Hal itu menyalahi Sunnah dan tidak disyariatkan oleh Rasulullah
bahkan bid’ah yang tidak memiliki asal dalam syariat sedangkan permasalah
ibadah adalah Tauqifiyah oleh
karena itu ibadah kepada Allah itu hanya boleh dilakukan jika ada syariatnya.
2. Adanya riwayat ketidaksukaan Ibnu Mas’ud dan Sahabat lain
terhadap hal tersebut. Ibnu Waddhah berkata
dalam kitabnya al Bid’u wan nahyu anha: Dari
Ibrahim berkata : “Dahulu ‘Abdullah (Ibnu Mas’ud) membenci berdzikir dengan
tasbih seraya bertanya : “Apakah kebaikan-kebaikannya telah diberikan kepada
Allah?” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf No. 7667) dengan
sanad shohih. Dari as-Shalt bin Bahram berkata : “Ibnu Mas’ud melewati
seorang wanita yang berdzikir dengan tasbih, maka segera beliau potong tasbih
lalu membuangnya. Kemudian beliau melewati seorang lai-laki berdzikir
dengan kerikil, maka beliau menendangnya, kemudian berkata : “Sungguh
kalian telah mendahului Rasulullah, kalian melakukan bid’ah dengan zhalim dan
ilmu kalian telah melebihi ilmu Sahabat-Sahabat Muhammad.
Dalam Mushannaf Ibnu Abi
syaibah disebutkan: telah
menceritakan kepadaku yahya Bin Said al Qatthâni dari Al Taimi dari Abi
Tamimiyah dari seorang perempuan bani Kulaib yang berkata bahwa ia dilihat oleh
Aisyah sedang berdzikir dengan biji-biji tasbih, maka Aisayah berkata: Mana
Syawahid? yang dimaksud adalah jari jemari. Dari Atsar ini
bisa dipahami bahwa Asiyah menegur perempuan tersebut dan menyuruhnya
menggunakan jari, namun sayang dalam atsar ini ada rawi yang mubham
Pendapat Ibnu Taimiyah dan Tarjih
Ibnu Taimiyah memberi
pendapat yang wasath dalam hal ini, beliau mengatakan:
وعد التسبيح بالأصابع سنة كما قال النبي للنساء سبحن واعقدن بالأصابع فإنهن مسؤولات مستنطقات
وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان من الصحابة رضي الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبي أم المؤمنين تسبح بالحصى واقرها على ذلك وروى أن أبا هريرة كان يسبح به
“Menghitung
tasbih dengan jari jemari adalah sunah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam kepada kaum wanita: “Bertasbihlah dan menghitunglah dengan
jari jemari, karena jari jemari itu akan ditanya dan diajak bicara.”
Adapun
menghitung tasbih dengan biji-bijian dan batu-batu kecil (semacam kerikil) dan
semisalnya, maka hal itu perbuatan baik (hasan). Dahulu sebagian sahabatpun
(Radhiallahu ‘Anhum )ada yang memakainya dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
telah melihat ummul mukminin bertasbih dengan batu-batu kecil dan beliau
menyetujuinya. Diriwayatkan pula bahwa Abu Hurairah pernah bertasbih dengan
batu-batu kecil tersebut
Hukum menggunakan tasbih sebagai alat untuk
berdzikir adalah boleh dan mubah bukan bid’ah, inilah yang masyhur dari
pendapat para ulama dari 4 Mazhab dan juga ulama-ulama Salafi serta sesuai
dengan kaidah bahwa asal sesuatu adalah Mubah selama tidak ada dalil yang
melarang. Adapun jika ada kesan menganggapnya hasan maka hal tersebut adalah
kelaziman dari hukum mubah yang diniatkan untuk kebaikan.
Demikian pendapat para ulama besar tentang penggunaan tasbih ini. Semoga kita bisa memperoleh inti pelajaran dari mereka. Wallaahu a'lam.
Demikian pendapat para ulama besar tentang penggunaan tasbih ini. Semoga kita bisa memperoleh inti pelajaran dari mereka. Wallaahu a'lam.