Sabtu, 24 November 2012

TERSENYUMLAH!

Pada tahun 2009 yang lalu, ada sebuah laporan dari The Smiling Report yang berbasis di Swedia, menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat pertama  negara paling murah senyum di dunia dengan skor 98%. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa senyum adalah gerakan ekspresif yang tidak bersuara untuk menunjukkan rasa senang, gembira, suka dan sebagainya dengan mengembangkan bibir sedikit.

Sebuah kebanggaan tersendiri, negara kita mendapatkan pengakuan internasional. Namun di balik itu semua dapatlah kita fahami bahwa senyum itu adalah suatu keniscayaan dalam din atau agama kita.

Tersenyum merupakan suatu perbuatan yang mengandung nilai ibadah. Lihatlah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam berikut:

"Senyum-mu di hadapan saudaramu merupakan shadaqah." (HR. Bukhari)

Nah, benarlah apa yang dikatakan hadits di atas. Senyum adalah shadaqah bagi seseorang. Mengandung nilai pahala di sisi Allah subhanahu wa ta'ala.

Perilaku Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam muamalah dengan keluarga dan para sahabat lebih didominasi senyuman ketimbang tawa. Bahkan tertawanya beliau adalah berupa senyuman. Subhanallah!

Hal itu dapat dilihat dari beberapa riwayat berikut:

  • Dari Jabir radiyallahu anhu, dia berkata, "Tidaklah ada sesuatu yang menghalangi Rasulullah dariku atau tatkala beliau melihatku semenjak aku masuk Islam, melainkan beliau pasti tersenyum." (HR. at Tirmidzi).
  • Dari Umar bin al Khaththab radiyallahu anhu, dia berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tersenyum dan beliau adalah orang paling baik giginya." (HR. Ibnu Hibban).
  • Dari Aisyah radiyallahu anha berkata, "Sekalipun aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berlebih-lebihan saat tertawa hingga kulihat telak mulutnya. Tawa beliau hanyalah berupa senyuman." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, al Baghawi, dan Ahmad)
  • Dari Abdullah bin Juz', dia berkata, "Rasulullah tidak tertawa selain dari senyuman." (HR. at Tirmidzi). 

Perilaku beliau ini bukan hanya saat berkumpul dengan para sahabat, namun hal ini terjadi juga pada keluarga beliau yang mulia.

Aisyah pernah ditanya, "Bagaimana perilaku Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat berada di rumahnya? Aisyah menjawab, "Beliau adalah orang yang paling lemah lembut, paling murah hati, dan beliau tidak berbeda dengan salah seorang laki-laki di antara kalian. Hanya saja beliau banyak tertawa yang berupa senyuman." (HR. Ibnu Sa'd dan Ibnu Asakir).

Bukan hanya itu, terhadap musuh sekalipun, beliau dalam keadaan muka ceria dan berseri disertai senyuman. Ini terjadi pada seorang yang bernama Uyainah bin Hishn, kalangan Arab yang berperangai kasar.

Diriwayatkan bahwa saat Uyainah ini ingin menghadap Rasul dari kejauhan Rasulullah berbicara kepada Aisyah, "Dia adalah seburuk-seburuk saudara dalam kerabat dan anak dalam kerabat."

Namun ketika orang itu duduk, Rasulullah mengembangkan senyumnya dan menerima dengan senang hati. Setelah orang itu pergi, Aisyah berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, ketika melihat orang tadi dari kejauhan, engkau berkata begini dan begitu. Tapi kemudian engkau bewajah ceria setelah berada di hadapannya dan menerima kedatangannya dengan baik."

Beliau menjawab, "Wahai Aisyah, kapankah engkau melihatku berbuat tidak baik?"

Inilah contoh konkrit dari Sang Uswah Hasanah (suri tauladan yang baik) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya.

Marilah kita kembangkan senyuman sebagai suatu kebiasaan dalam muamalah kita sehari-hari, baik kepada keluarga, saudara, karib kerabat, teman, handai taulan, orang yang berada di lingkungan sekitar kita, dan kepada siapapun bahkan terhadap orang yang membenci kita sekalipun.

"Janganlah kamu menghinakan sedikitpun dari perbuatan ma'ruf, walaupun kamu harus menemui saudaramu dengan wajah yang berseri." (HR. Muslim).

Tetaplah dalam keadaan selalu tersenyum, jauhi dari banyak tertawa secara berkepanjangan dan berlebih-lebihan sehingga mengeluarkan suara yang keras. Ingatlah! Banyak tertawa bisa menghilangkan kharisma dan dapat mematikan hati.

"Janganlah kalian banyak tertawa, karena tertawa itu mematikan hati." (HR. Bukhari dan Ibnu Majah)

____________________________

Sumber:
1. Ahmad Musthafa Qasim ath-Thanthawy, Senyum & Tangis Rasulullah, Pustaka al-Kautsar, Maret, 2001.
2. Detiknews.
3. Imam Nawawi, Riyadush Shalihin, al Maktab al Alami
4. Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi-offline)
5. Khaulah binti Abdul Kadir Darwis, Bagaimana Muslimah Bergaul, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, April, 2001 



ENAM SYARAT MENDAPATKAN ILMU


Wahai teman, Anda tak akan dapat memperoleh ilmu kecuali dengan enam syarat. Akan aku jelaskan perinciannya dengan amat singkat.

Cerdas, semangat, sabar, cukup dana, bimbingan guru , dan waktu yang cukup.



Menuntut ilmu syar'i adalah sebuah kewajiban. Namun untuk mendapatkannya itu tidaklah mudah. Tidaklah ia diperoleh dengan cara instan (cepat). Atau mendapatkannya seperti makanan cepat saji. Sekarang pesan, beberapa menit kemudian jadi. Sangat diperlukan persyaratan tertentu. Inilah 6 (enam) persyaratan yang diucapkan oleh seorang ulama mazhab, Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Wahab bin Utsman bin Syafi'i bin Sa'id Abu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf atau lebih dikenal dengan Imam Syafi'i dengan gelar Nashirus Sunnah (Penolong Sunnah).


1. KECERDASAN

Seorang penuntut ilmu haruslah seorang yang cerdas. Cerdas dalam menangkap materi yang disampaikan para asatidz (guru). Ketika seorang murid sedang menjalani masa belajar, maka dia akan mendapatkan berbagai disiplin ilmu yang sangat membutuhkan konsentrasi bagi para penuntutnya. Ini sangat diperlukan kecerdasan.

Apakah kecerdasan itu? Kecerdasan atau yang biasa dikenal dengan IQ (bahasa Inggris: intelligence quotient) adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. 

Inilah contoh betapa pentingnya kecerdasan itu. Kecerdasan dalam menghafal misalnya.

Lihatlah kecerdasan Imam Bukhari dalam menghafal hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau berkata, "Saya hapal hadits diluar kepala sebanyak 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits yang tidak shahih."

Bahkan ada kisah mengagumkan tentang kekuatan hafalan dan kecerdasan Imam Bukhari rahimahullah. Suatu ketika para ulama hadits Baghdad ingin menguji Imam Bukhari dengan cara mencampur aduk dan memutar balik sanad dan matan 100 buah hadits. Masing-masing ulama yang berjumlah 10 orang tadi membawa sebanyak 10 hadits yang sudah tidak beraturan lagi. Satu persatu dijawab oleh Bukhari dengan jawaban, "Saya tidak mengetahui hadits yang Anda baca tadi!" Sampai kepada ulama yang kesepuluh. Jawaban beliau tetap sama seperti yang pertama, kedua, dan seterusnya.

Setelah selesai para ulama tadi membacakan hadits, kini giliran Imam Bukhari meluruskan hadits yang sebenarnya dengan penyebutan sanad dan matannya. Dari ulama yang pertama sampai yang kesepuluh. Dan itu semua dilakukan di luar kepala.

2 & 3.  SEMANGAT DAN KESABARAN

Thalibul Ilm (penuntut ilmu) sangat memerlukan sekali semangat dan kesabaran dalam belajar. Bagaimana tidak, jika pelajaran yang harus diterima banyak dan memerlukan konsentrasi itu, tetapi semangat kurang atau tidak ada sama sekali. Maka hasilnya pun tidak optimal. Seorang yang cerdas di atas rata-rata sekalipun, ketika tidak memiliki semangat dan kesabaran, maka hasilnya tidak akan maksimal.

Lihatlah semangat dan kesabaran sahabat dan ulama salafus shaleh dalam mencari ilmu.

Sahabat Jabir bin Abdullah al Anshari as-Sulami pernah dikhabarkan kepadanya bahwa ada sebuah hadits tentang qishash yang belum pernah didengar olehnya dan sahabat yang lain kecuali hanya seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Anis al Juhani al Anshari yang menjadi hakim agung di Mesir saat itu.

Beliau lalu pergi ke pasar untuk membeli seekor keledai yang akan dijadikan kendaraan menuju Mesir tempat tinggal sahabat Abdullah bin Anis ini. Beberapa hari kemudian beliau berangkat dari Madinah menuju Mesir sampai memakan waktu berbulan-bulan sambil melewati padang pasir yang luas, jurang yang curam, dan bukit-bukit bebatuan yang terjal.

Sampai akhirnya beliau tiba di Mesir dengan selamat dan bertemu dengan sahabat Abdullah bin Anis al Juhani al Anshari dan berhasil memperoleh keterangan tentang hadits yang dimaksud disertai penjelasan, maksud dan tujuan dari hadits tersebut.

Demikian pula tentang ulama semisal Sa'id bin al Musayyab. Beliau berkata, "Aku pernah bepergian berhari-hari dan bermalam-malam untuk mencari satu hadits." (al Bidayah wan Nihayah 9/10).

Ibnu al Madini mengatakan, dikatakan kepada asy Sya'bi, "Dari mana semua ilmu ini?" Dia mengatakan, "Dengan tidak menggantungkan (pendapat), menempuh perjalanan di beberapa negeri, dengan kesabaran sebagaimana sabarnya tanah dan bekerja sejak pagi hari sebagaimana keluarnya burung gagak (dari sarangnya)." (Tadzkiratul Huffazh 1/81-84)

Abu al 'Aliyah mengatakan, "Kami pernah suatu riwayat dari para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kami berada di Bashrah. Kami tidak merasa puas hingga kami berkendaraan menuju Madinah dan kami mendengar riwayat-riwayat tersebut dari mulut mereka." (al Kifayah fi Ilmir Riwayah 403)

Abu Zakaria at Tibrizi, seorang ulama besar dalam sastra Arab, nahwu, bahasa, dan yang lainnya pernah memanggul keranjang yang berisi kitab-kitab yang akan beliau tahqiq kepada seorang ulama ahli bahasa al Ma'arri. Dia memanggulnya dari Tibriz sampai al Ma'ararah. Tidak sesuatu untuk membayar biaya kendaraan sehingga keringatnya bercucuran mengenai kitab-kitab yang beliau bawa. Sementara orang-orang yang ada di Baghdad mengira kitab-kitab tersebut basah akibat tenggelam di dalam air, padahal itu semua basah karena keringat beliau. (Wafiyyatul A'yan 2/233).

Sementara itu, Imam Syafi'i ketika belajar pernah mengalami kondisi sulit ekonomi, ia tidak mampu membeli kertas dan tinta, sehingga ditulisnya pelajaran pada tulang-tulang dan sobekan kertas bekas. Meskipun demikian, beliau tetap bersemangat dalam menekuni pelajarannya, bahkan merasakan kebahagiaan tersendiri. Hal ini beliau ungkapkan dalam sebuah maqolahnya:

"Tiada kebahagiaan dalam menuntut ilmu kecuali mereka yang ketika belajar dalam kondisi serba kekurangan."

4. CUKUP DANA

Dana atau finansial adalah salah satu elemen dalam belajar yang tidak boleh diremehkan oleh penuntut ilmu. Mengapa demikian? Dalam belajar itu sangat diperlukan berbagai macam kelengkapan seperti buku, pensil, pulpen, muqarrar (kitab-kitab panduan), kendaraan, biaya transportasi dan lain sebagainya.

Lihatlah keadaan para ulama dahulu ketika masa-masa mereka belajar .

Imam Ahmad sampai rela menjual satu-satunya baju yang dipakai untuk keperluan membeli alat tulis untuk mencatat ilmu hadits yang diambil dari gurunya.

Abul Abbas al Jurjanji mengatakan, "Abu Ishaq asy Syiraji pernah tidak memiliki harta benda dunia walaupun sampai dia benar-benar menjadi seorang fakir, tidak punya makanan maupun pakaian. Kami pun mendatanginya dan dia tinggal di al Qathi'ah. Ia menyambut kami dengan setengah berdiri dan tidak dapat tegak karena telanjang (pakaian tidak cukup untuk berdiri tegak) supaya tidak terlihat.(Thabaqatusy Syafi'iyyatul Kubra 3/90).

5. BIMBINGAN GURU

Guru adalah sumber utama dalam belajar. Dalam belajar ilmu syar'i haruslah dengan bimbingan seorang guru. Bagaimana mungkin ia akan mendapatkan ilmu yang benar sementara dia belajar hanya dengan membaca buku? Belajar dengan otodidak. Sedangkan ilmu itu harus dijabarkan sesuai dengan pemahaman yang benar.


Lihat para salafus shalih terdahulu, mereka menimba ilmu din ini dengan cara bertalaqqi (bertemu/belajar langsung) dari sang guru walaupun harus berbulan-bulan untuk mendapatkannya.

Imam Bukhari rahimahullah berguru kepada 1.008 orang guru. Beliau mengatakan, "Aku menulis hadits dari 1.080 guru, yang semuanya adalah ahli hadits dan berpendirian bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan."

Diantara guru Imam Bukhari yang terkenal adalah Ali al Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main, Muhammad bin Yusuf al Firyabi, Maki bin Ibrahim al-Balkhi, Muhammad bin Yusuf al-Baykandi, dan Ibnu Rahawaih. Jumlah guru yang haditsnya diriwayatkan dalam kitab shahihnya sebanyak 289 guru.

Seseorang pernah bertanya kepada Imam ahmad, "Seseorang yang mencari ilmu, apakah harus belajar terus menerus kepada seorang guru yang banyak ilmu, ataukah berpindah-pindah?". Beliau menjawab,"Sebaiknya ia mengembara untuk mencatat hadits dari para ulama yang tersebar di beberapa kota."

6. WAKTU YANG CUKUP

Menjadi seorang yang berilmu tidaklah seperti orang yang membalikkan telapak tangan. Cepat dan sangat cepat, akan tetapi diperlukan waktu yang cukup untuk menjadikan dia sebagai seorang yang alim. Tidaklah seorang yang alim hanya dengan belajar selama sebulan. Atau hanya dengan mengikuti kursus atau pelatihan selama tiga bulan. Atau seseorang yang mengikuti workshop untuk menjadi seorang juru dakwah, da'i atau khatib dengan hanya belajar selama beberapa bulan saja.

Bayangkan berapa lama Imam Syafi'i harus belajar kepada Imam Malik untuk belajar al Muwatha'? Berapa lama ia belajar kepada Imam Waki' , belajar kepada Sufyan bin Uyainah, serta belajar kepada para ulama lain di zamannya? Berapa lama pula dia harus melakukan perjalanan ke Baghdad, Mesir, dan negeri yang lainnya?

Lihat pula berapa lama Imam Bukhari yang harus mendatangi 1.080 orang guru ahli hadits dan berapa tempat yang harus beliau singgahi? 

Perhatikan perkataan Imam Bukhari berikut:

"Saya telah pergi ke Syam, Mesir, Jazirah dua kali, Basrah empat kali, dan saya bermukim di Hijaz selama enam tahun, dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya pergi ke Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama hadits."

Lihat pula ulama seperti Sa'id bin Musayyab yang melakukan perjalanan hanya untuk mengambil satu hadits dengan memakan waktu sebulan. Itu satu hadits, bagaimana dengan hadits yang lain?

Jadi untuk menjadi seorang yang mumpuni dan alim dalam bidangnya, tentunya sangat diperlukan waktu yang cukup, tidak dengan cara tiba-tiba, dia menjadi ulama ternama dan disegani pada zamannya.

Semoga enam persyaratan di atas menjadi pemicu sekaligus penyemangat bagi kita dalam menuntut ilmu. Kiranya untuk mendapatkan ilmu yang benar sangatlah diperlukan persyaratan-persyaratan di atas. Dan ingat,Tidak ada batasan waktu dalam menuntut ilmu syar'i! Tetaplah belajar dan belajar, kemudian amalkan sampai datang Sang Pemutus Kenikmatan, yaitu kematian.
______________________________

Sumber:
a. Ali Hasan Abdul Hamid, Kembali Kepada Sunnah, al Uswah, 1417H -197M.
b. DR. M.M. Abu Syuhbah, Kutubus Sittah, Pustaka Progressif, Januari, 1999.
c. Muhammad Shaleh Farfur, Tokoh Pengharum Panji Islam, Pustaka Azzam, Mei, 2011.
d. Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas.
e. Yusuf  as Syaikh Muhammad al Baqi, Koleksi Syair Imam Syafi'i, Pustaka Amani, Jakarta, Rabi'ul Akhir 1415H - September 1995.