Sabtu, 24 November 2012

ENAM SYARAT MENDAPATKAN ILMU


Wahai teman, Anda tak akan dapat memperoleh ilmu kecuali dengan enam syarat. Akan aku jelaskan perinciannya dengan amat singkat.

Cerdas, semangat, sabar, cukup dana, bimbingan guru , dan waktu yang cukup.



Menuntut ilmu syar'i adalah sebuah kewajiban. Namun untuk mendapatkannya itu tidaklah mudah. Tidaklah ia diperoleh dengan cara instan (cepat). Atau mendapatkannya seperti makanan cepat saji. Sekarang pesan, beberapa menit kemudian jadi. Sangat diperlukan persyaratan tertentu. Inilah 6 (enam) persyaratan yang diucapkan oleh seorang ulama mazhab, Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Wahab bin Utsman bin Syafi'i bin Sa'id Abu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf atau lebih dikenal dengan Imam Syafi'i dengan gelar Nashirus Sunnah (Penolong Sunnah).


1. KECERDASAN

Seorang penuntut ilmu haruslah seorang yang cerdas. Cerdas dalam menangkap materi yang disampaikan para asatidz (guru). Ketika seorang murid sedang menjalani masa belajar, maka dia akan mendapatkan berbagai disiplin ilmu yang sangat membutuhkan konsentrasi bagi para penuntutnya. Ini sangat diperlukan kecerdasan.

Apakah kecerdasan itu? Kecerdasan atau yang biasa dikenal dengan IQ (bahasa Inggris: intelligence quotient) adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. 

Inilah contoh betapa pentingnya kecerdasan itu. Kecerdasan dalam menghafal misalnya.

Lihatlah kecerdasan Imam Bukhari dalam menghafal hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau berkata, "Saya hapal hadits diluar kepala sebanyak 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits yang tidak shahih."

Bahkan ada kisah mengagumkan tentang kekuatan hafalan dan kecerdasan Imam Bukhari rahimahullah. Suatu ketika para ulama hadits Baghdad ingin menguji Imam Bukhari dengan cara mencampur aduk dan memutar balik sanad dan matan 100 buah hadits. Masing-masing ulama yang berjumlah 10 orang tadi membawa sebanyak 10 hadits yang sudah tidak beraturan lagi. Satu persatu dijawab oleh Bukhari dengan jawaban, "Saya tidak mengetahui hadits yang Anda baca tadi!" Sampai kepada ulama yang kesepuluh. Jawaban beliau tetap sama seperti yang pertama, kedua, dan seterusnya.

Setelah selesai para ulama tadi membacakan hadits, kini giliran Imam Bukhari meluruskan hadits yang sebenarnya dengan penyebutan sanad dan matannya. Dari ulama yang pertama sampai yang kesepuluh. Dan itu semua dilakukan di luar kepala.

2 & 3.  SEMANGAT DAN KESABARAN

Thalibul Ilm (penuntut ilmu) sangat memerlukan sekali semangat dan kesabaran dalam belajar. Bagaimana tidak, jika pelajaran yang harus diterima banyak dan memerlukan konsentrasi itu, tetapi semangat kurang atau tidak ada sama sekali. Maka hasilnya pun tidak optimal. Seorang yang cerdas di atas rata-rata sekalipun, ketika tidak memiliki semangat dan kesabaran, maka hasilnya tidak akan maksimal.

Lihatlah semangat dan kesabaran sahabat dan ulama salafus shaleh dalam mencari ilmu.

Sahabat Jabir bin Abdullah al Anshari as-Sulami pernah dikhabarkan kepadanya bahwa ada sebuah hadits tentang qishash yang belum pernah didengar olehnya dan sahabat yang lain kecuali hanya seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Anis al Juhani al Anshari yang menjadi hakim agung di Mesir saat itu.

Beliau lalu pergi ke pasar untuk membeli seekor keledai yang akan dijadikan kendaraan menuju Mesir tempat tinggal sahabat Abdullah bin Anis ini. Beberapa hari kemudian beliau berangkat dari Madinah menuju Mesir sampai memakan waktu berbulan-bulan sambil melewati padang pasir yang luas, jurang yang curam, dan bukit-bukit bebatuan yang terjal.

Sampai akhirnya beliau tiba di Mesir dengan selamat dan bertemu dengan sahabat Abdullah bin Anis al Juhani al Anshari dan berhasil memperoleh keterangan tentang hadits yang dimaksud disertai penjelasan, maksud dan tujuan dari hadits tersebut.

Demikian pula tentang ulama semisal Sa'id bin al Musayyab. Beliau berkata, "Aku pernah bepergian berhari-hari dan bermalam-malam untuk mencari satu hadits." (al Bidayah wan Nihayah 9/10).

Ibnu al Madini mengatakan, dikatakan kepada asy Sya'bi, "Dari mana semua ilmu ini?" Dia mengatakan, "Dengan tidak menggantungkan (pendapat), menempuh perjalanan di beberapa negeri, dengan kesabaran sebagaimana sabarnya tanah dan bekerja sejak pagi hari sebagaimana keluarnya burung gagak (dari sarangnya)." (Tadzkiratul Huffazh 1/81-84)

Abu al 'Aliyah mengatakan, "Kami pernah suatu riwayat dari para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kami berada di Bashrah. Kami tidak merasa puas hingga kami berkendaraan menuju Madinah dan kami mendengar riwayat-riwayat tersebut dari mulut mereka." (al Kifayah fi Ilmir Riwayah 403)

Abu Zakaria at Tibrizi, seorang ulama besar dalam sastra Arab, nahwu, bahasa, dan yang lainnya pernah memanggul keranjang yang berisi kitab-kitab yang akan beliau tahqiq kepada seorang ulama ahli bahasa al Ma'arri. Dia memanggulnya dari Tibriz sampai al Ma'ararah. Tidak sesuatu untuk membayar biaya kendaraan sehingga keringatnya bercucuran mengenai kitab-kitab yang beliau bawa. Sementara orang-orang yang ada di Baghdad mengira kitab-kitab tersebut basah akibat tenggelam di dalam air, padahal itu semua basah karena keringat beliau. (Wafiyyatul A'yan 2/233).

Sementara itu, Imam Syafi'i ketika belajar pernah mengalami kondisi sulit ekonomi, ia tidak mampu membeli kertas dan tinta, sehingga ditulisnya pelajaran pada tulang-tulang dan sobekan kertas bekas. Meskipun demikian, beliau tetap bersemangat dalam menekuni pelajarannya, bahkan merasakan kebahagiaan tersendiri. Hal ini beliau ungkapkan dalam sebuah maqolahnya:

"Tiada kebahagiaan dalam menuntut ilmu kecuali mereka yang ketika belajar dalam kondisi serba kekurangan."

4. CUKUP DANA

Dana atau finansial adalah salah satu elemen dalam belajar yang tidak boleh diremehkan oleh penuntut ilmu. Mengapa demikian? Dalam belajar itu sangat diperlukan berbagai macam kelengkapan seperti buku, pensil, pulpen, muqarrar (kitab-kitab panduan), kendaraan, biaya transportasi dan lain sebagainya.

Lihatlah keadaan para ulama dahulu ketika masa-masa mereka belajar .

Imam Ahmad sampai rela menjual satu-satunya baju yang dipakai untuk keperluan membeli alat tulis untuk mencatat ilmu hadits yang diambil dari gurunya.

Abul Abbas al Jurjanji mengatakan, "Abu Ishaq asy Syiraji pernah tidak memiliki harta benda dunia walaupun sampai dia benar-benar menjadi seorang fakir, tidak punya makanan maupun pakaian. Kami pun mendatanginya dan dia tinggal di al Qathi'ah. Ia menyambut kami dengan setengah berdiri dan tidak dapat tegak karena telanjang (pakaian tidak cukup untuk berdiri tegak) supaya tidak terlihat.(Thabaqatusy Syafi'iyyatul Kubra 3/90).

5. BIMBINGAN GURU

Guru adalah sumber utama dalam belajar. Dalam belajar ilmu syar'i haruslah dengan bimbingan seorang guru. Bagaimana mungkin ia akan mendapatkan ilmu yang benar sementara dia belajar hanya dengan membaca buku? Belajar dengan otodidak. Sedangkan ilmu itu harus dijabarkan sesuai dengan pemahaman yang benar.


Lihat para salafus shalih terdahulu, mereka menimba ilmu din ini dengan cara bertalaqqi (bertemu/belajar langsung) dari sang guru walaupun harus berbulan-bulan untuk mendapatkannya.

Imam Bukhari rahimahullah berguru kepada 1.008 orang guru. Beliau mengatakan, "Aku menulis hadits dari 1.080 guru, yang semuanya adalah ahli hadits dan berpendirian bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan."

Diantara guru Imam Bukhari yang terkenal adalah Ali al Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main, Muhammad bin Yusuf al Firyabi, Maki bin Ibrahim al-Balkhi, Muhammad bin Yusuf al-Baykandi, dan Ibnu Rahawaih. Jumlah guru yang haditsnya diriwayatkan dalam kitab shahihnya sebanyak 289 guru.

Seseorang pernah bertanya kepada Imam ahmad, "Seseorang yang mencari ilmu, apakah harus belajar terus menerus kepada seorang guru yang banyak ilmu, ataukah berpindah-pindah?". Beliau menjawab,"Sebaiknya ia mengembara untuk mencatat hadits dari para ulama yang tersebar di beberapa kota."

6. WAKTU YANG CUKUP

Menjadi seorang yang berilmu tidaklah seperti orang yang membalikkan telapak tangan. Cepat dan sangat cepat, akan tetapi diperlukan waktu yang cukup untuk menjadikan dia sebagai seorang yang alim. Tidaklah seorang yang alim hanya dengan belajar selama sebulan. Atau hanya dengan mengikuti kursus atau pelatihan selama tiga bulan. Atau seseorang yang mengikuti workshop untuk menjadi seorang juru dakwah, da'i atau khatib dengan hanya belajar selama beberapa bulan saja.

Bayangkan berapa lama Imam Syafi'i harus belajar kepada Imam Malik untuk belajar al Muwatha'? Berapa lama ia belajar kepada Imam Waki' , belajar kepada Sufyan bin Uyainah, serta belajar kepada para ulama lain di zamannya? Berapa lama pula dia harus melakukan perjalanan ke Baghdad, Mesir, dan negeri yang lainnya?

Lihat pula berapa lama Imam Bukhari yang harus mendatangi 1.080 orang guru ahli hadits dan berapa tempat yang harus beliau singgahi? 

Perhatikan perkataan Imam Bukhari berikut:

"Saya telah pergi ke Syam, Mesir, Jazirah dua kali, Basrah empat kali, dan saya bermukim di Hijaz selama enam tahun, dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya pergi ke Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama hadits."

Lihat pula ulama seperti Sa'id bin Musayyab yang melakukan perjalanan hanya untuk mengambil satu hadits dengan memakan waktu sebulan. Itu satu hadits, bagaimana dengan hadits yang lain?

Jadi untuk menjadi seorang yang mumpuni dan alim dalam bidangnya, tentunya sangat diperlukan waktu yang cukup, tidak dengan cara tiba-tiba, dia menjadi ulama ternama dan disegani pada zamannya.

Semoga enam persyaratan di atas menjadi pemicu sekaligus penyemangat bagi kita dalam menuntut ilmu. Kiranya untuk mendapatkan ilmu yang benar sangatlah diperlukan persyaratan-persyaratan di atas. Dan ingat,Tidak ada batasan waktu dalam menuntut ilmu syar'i! Tetaplah belajar dan belajar, kemudian amalkan sampai datang Sang Pemutus Kenikmatan, yaitu kematian.
______________________________

Sumber:
a. Ali Hasan Abdul Hamid, Kembali Kepada Sunnah, al Uswah, 1417H -197M.
b. DR. M.M. Abu Syuhbah, Kutubus Sittah, Pustaka Progressif, Januari, 1999.
c. Muhammad Shaleh Farfur, Tokoh Pengharum Panji Islam, Pustaka Azzam, Mei, 2011.
d. Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas.
e. Yusuf  as Syaikh Muhammad al Baqi, Koleksi Syair Imam Syafi'i, Pustaka Amani, Jakarta, Rabi'ul Akhir 1415H - September 1995.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar