Sabtu, 01 Desember 2012

SERBA-SERBI PARA PENGAMAL SUNNAH

Mengikuti sunnah adalah sebuah keharusan, karena itu merupakan perintah agama. Namun dalam perjalanannya tidak sedikit orang yang diuji oleh Allah karena keistiqomahannya dalam mempertahankan sunnah.



Ada ikhwan (saudara) kita yang telah lama bekerja di sebuah bank konvensional, apakah dia sebagai security (bagian keamanan) ataukah dia bekerja di bagian lain di bank tersebut. Setelah tahu hukum bekerja di sana haram, maka dia mengundurkan diri dengan hormat. Apa yang terjadi? Allah mengujinya setelah dia keluar dari bank tersebut, dengan belum mendapatkan pekerjaan pengganti, padahal dia harus menghidupi anak dan isterinya.

Ada lagi, ikhwan kita yang lain, karena mengetahui hukum berjenggot dan memakai celana di atas mata kaki adalah wajib, Maka dia memutuskan untuk mengamalkannya. Namun perbuatannya ini menarik perhatian perusahaan dan tidak menyetujui atas tindakannya tersebut. Hingga akhirnya pihak perusahaan memberikan opsi, apakah tetap mengikuti aturan perusahaan dan dia tetap bekerja di sana atau dia harus mengundurkan diri atau dipecat dengan cara tidak hormat. Akhirnya ikhwan ini memilih mengundurkan diri. Padahal berjenggot dan pakaian di atas mata kaki sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pekerjaan kan!

Serba-serbi kisah orang yang mengamalkan sunnah di tengah masyarakat kita-pun tidak sedikit. Kita dengar atau kita sendiri yang merasakan peristiwa itu.

Dahulu mungkin kita menjadi bagian orang mengamalkan kebid'ahan di tengah-tengah masyarakat, namun karena hidayah Allah, akhirnya kita menjadi orang yang menentang perbuatan yang selama ini kita lakukan. Apa akibatnya? Sebagaimana diketahui masyarakat sedikit demi sedikit mulai mengucilkan kita. Kita menjadi bahan omongan. Kita dianggap orang yang sesat. Bahkan kita disebut sebagai pengikut Wahabi.

Ya, kita dianggap sebagai pengikut Wahabi. Karena tidak pernah ikut lagi dalam berbagai macam acara di masyarakat seperti tahlilan setelah kematian yang berlangsung selama tujuh hari. Setelah itu setengah bulan, lalu empat puluh hari. Selanjutnya setahun kematian. Yang terakhir ini dikenal dengan istilah haul. Ini bisa berlangsung setiap tahun. 

Setiap datang bulan Sya'ban atau di masyarakat dikenal dengan bulan Ruwah. Di bulan ini biasanya diadakan acara tahlilan untuk mengirim pahala untuk roh-roh orang yang telah meninggal. Datang bulan Syawwal, tak lupa mereka mengadakan acara tahlilan dan biasanya diadakan ba'da Maghrib sampai Isya. Selanjutnya di bulan Dzulhijah pun ada acara tahlilan setelah pelaksanaan shalat Idul Adha. Biasanya diadakan di siang atau sore harinya.

Belum lagi ketika ada walimah. Baik walimatul 'urs maupun walimatul khitan. Biasanya di malam hari sebelum acara, mereka mengadakan malam mangkat (istilah di Jakarta). Acara ini berupa pembacaan tahlil, tahmid, takbir, serta Barjanzi (kisah sirah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang berupa syair-syair, karena pengarang adalah hanya seorang sastrawan, bukan seorang ahli sejarah apalagi seorang ulama hadits dan di dalamnya pun terdapat kalimat-kalimat yang mengandung unsur kesyirikan) dan terkadang diisi dengan ceramah agama. 

Pada akhirnya semua acara yang tidak pernah dilakukan Rasulullah ini, kita tinggalkan, semata-mata karena mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka ia tertolak."  (HR. Muslim)

"Barangsiapa mengadakan perkara baru yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalannya tertolak." (HR. Muttafaq Alaih).

Tidak sedikit dalam pelaksanaan pengamalan sunnah ini, rintangan dan hambatan (itu memang sunnatullah) datang bertubi tubi. Terkadang datang dari orang tua kita sendiri, ibu dan bapak kita. Memang berat terasa, ketika yang menjadi penghalang ini adalah mereka berdua. Tapi ingat, dahulu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdakwah, yang menjadi penghalang di antaranya adalah keluarga dekat beliau. Siapa mereka? Di antaranya Abu Lahab, Abu Jahl, dan Abu Sufyan (sebelum masuk Islam). Nabi kita saat itu dianggap orang yang berbeda dengan masyarakat Quraisy. Dianggap membawa agama baru. Dianggap telah memecah belah keluarga dan sebagainya.

Ada lagi kisah lain dalam mengamalkan sunnah. Seorang ikhwan ditentang langsung oleh ibunya dalam mengikuti sunnah, tetapi alhamdulillah karena sedikit demi sedikit diberikan arahan tentang amalan yang dikerjakan itu tidak ada sunnahnya, lambat laun si ibu ini pun mengerti.

Dalam penjelasannya, saudara kita ini tidak menggunakan kata-kata yang kasar, keras, dan kata yang sangat fobia di tengah-tengah masyarakat yaitu BID'AH. Terlebih lagi yang sedang dia hadapi adalah ibunya sendiri. Bukankah Allah telah berfirman:

* 4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ  

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. (QS. al Isra' : 23)

Beberapa kali ikhwan kita ini, ditegur oleh ibunya mengapa tidak datang ke malam mangkatnya atau tahlilan keluarga si fulan? Sampai akhirnya sang ibu merasa tidak ada gunanya lagi menyuruh hal yang demikian. Sampai suatu saat, saudara sepupunya mengadakan walimah khitan. Sementara rumahnya sangat berdekatan sekali. Seperti yang penulis katakan, di Jakarta biasanya bagi shahibul walimah (orang yang hajat) mengadakan malam mangkat di malam harinya. Acara semacam ini biasanya diadakan pada pkl. 08.00 wib. Sampai jam tersebut si ikhwan ini tidak berangkat juga menuju rumah saudaranya ini, dia terus saja mengajarkan anak-anak yang belajar al Qur'an. Hingga akhirnya dengan nada tinggi sang ibu berucap, "Memangnya enggak mau pergi, orang-orang sudah pada kumpul tuh!" Sama orang lain mah enggak apa-apa gak dateng, ini mah sama saudara sendiri, pandang juga encing luh!" Dengan nada yang lembut si ikhwan ini menjawab, "Ma, saya sudah bilang ke............. (nama saudara sepupunya) saya enggak bisa datang!" Hingga sang ibu terlihat agak kecewa.

Lalu timbul pertanyaan, berdosakah si ikhwan ini karena menolak permintaan ibunya? Bukankah perintah orang tua wajib untuk di turuti?

Perhatikan dalil-dalil berikut:

Firman Alah azza wa jalla.

bÎ)ur š#yyg»y_ #n?tã br& šÍô±è@ Î1 $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ ÖNù=Ïæ Ÿxsù $yJßg÷èÏÜè? ( $yJßgö6Ïm$|¹ur Îû $u÷R9$# $]ùrã÷ètB ( ôìÎ7¨?$#ur Ÿ@Î6y ô`tB z>$tRr& ¥n<Î) 4 ¢OèO ¥n<Î) öNä3ãèÅ_ötB Nà6ã¥Îm;tRé'sù $yJÎ/ óOçFZä. tbqè=yJ÷ès?    

"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Luqman: 15)

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam memaksiati Al Khalik (Allah azza wa jalla)."

Dalil di atas sudah sangat jelas dan sekaligus menjadi jawaban bagi kedua pertanyaan di atas.

Si ikhwan tadi jelas tidak berdosa, karena dia lebih memilih mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya ketimbang perintah ibunya yang menyuruh kepada kemaksiatan. Ya, itu adalah kemaksiatan dan para ulama menggolongkannya kepada perbuatan bid'ah. Karena acara- acara tersebut tidak pernah dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam kasus yang lain, misalnya ketika kepengurusan jenazah. Di Jakarta atau di kota besar lainnya, biasanya yang mengurus adalah Amil (sekaligus dia yang menjadi Imam Rawatib dan menangani masalah pernikahan).

Bagi ikhwan memang diharapkan lebih sering mengikuti pelatihan-pelatihan kepengurusan jenazah, agar ketika ada saudara kita atau tetangga kita yang terkena musibah dapat kita tangani, tidak perlu memanggil orang lain yang biasanya dikenakan biaya tertentu. Lebih baik biaya tersebut dipergunakan untuk keperluan yang lain.

Suatu ketika mertua sang adik dari penulis meninggal dunia. Lalu timbul silang pendapat tentang siapa yang memandikan nanti. Ada yang berpendapat sang Amil saja, tidak enak karena tetangga dekat. Ada yang menyarankan, mengapa harus dia, pihak keluarga kan mampu. Sampai akhirnya diambil kesepakatan, yang memandikan adalah pihak keluarga, sementara kain kafannya dibeli dari si Amil tadi.

Memandikan mayat bagi penulis, ini merupakan hal pertama kali terjadi. Walaupun dahulu pernah melakukannya terhadap seorang keponakan yang usianya di bawah lima tahun, tetapi itupun sudah lama sekali. Hampir terlupakan.

Dalam perjalanannya, kami terus menghubungi seorang ikhwan yang biasa memandikan, tetapi rumahnya yang cukup jauh tidak memungkinkan untuk datang lebih cepat.

Tetapi, subhanallah, menjelang beberapa menit pelaksanaan, dua orang ikhwan datang membantu sehingga akhirnya sang mayit dimandikan oleh penulis dan salah seorang ikhwan tadi dengan dibantu beberapa ikhwan yang lain.  Alhamdulillah, pertolongan Allah datang!

Kemudahan demi kemudahan terus datang, baik ketika mengkafani sampai dengan menguburkan. Pada saat menyolatkan, tidak ada kesulitan yang berarti. Biasanya setelah shalat dilaksanakan, dibacakan doa bersama. Tetapi kami langsung mengusung mayat untuk dibawa ke dalam ambulan, mengingat tempat yang jauh. Tidak ada bacaan al Fatihah setelah shalat dan tidak ada acara persaksian bagi kebaikan mayit. Biasanya acara persaksian ini berisi ucapan sang imam shalat dengan berkata, "Apakah mayit ini adalah ahlul khair (ahli kebaikan)?" Perkataan ini diucapkan sebanyak 3X, dengan jawaban yang sama dari makmum, "Khair (baik)".

Padahal semua ini diada-adakan dan sesuatu yang baru dalam agama. Baik-buruknya amalan seseorang hanyalah Allah yang tahu. Manusia hanya dapat melihat secara zhahir-nya (yang tampak) saja. Tidak boleh memastikan! Apakah kita tahu akhir hayat seorang hamba? Apakah sebelum meninggalnya dia sedang melakukan suatu amalan shalih atau sebaliknya? 

Di saat pemakaman pun, alhamdulillah tidak ada kendala yang berarti. Setelah dimasukkan ke liang lahad, yang biasanya setelah itu diadzankan, dari atas kami menghimbau, "Tidak perlu diadzankan."

Beberapa menit kemudian, salah seorang kerabat mayat bertanya, "Kok tidak diadzankan, Om?" Kami menjawab, "Ya memang tidak perlu!" "Kalau diadzanin lebih bagus kali?" Dia balik bertanya. "Tidak juga. Adzan (dikubur) itu tidak diajarkan Nabi".

Selang beberapa menit kemudian, selesailah acara penguburan. Yang berkembang di masyarakat, setelah itu adalah pembacaan tahlil dan pentalqinan terhadap mayit. Tapi kami mengisi dengan sedikit taushiyah, dan inilah yang pernah dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika salah seorang sahabatnya meninggal.

Salah seorang ikhwan yang membantu saat memandikan mayit, sempat berkomentar, "Bagus antum bisa melaksanakan ini sesuai dengan sunnah!" saya menjawab, "Ini semua berkat bantuan ikhwan semua".

Ya memang kita perlu saling bantu membantu saat peristiwa kematian seperti ini. Apalagi yang meninggal adalah seorang famili kita. Kitalah yang lebih berhak dari yang lain.

Kalau saja ada beberapa ikhwan yang membantu saat pelaksanaan pengurusan jenazah, mulai dari memandikan sampai menguburkan, maka insya Allah pelaksanaannya sesuai dengan sunnah, dengan catatan, kita semua yang mengerjakannya. 

Kita ambil contoh, saat menyolatkan jenazah, yang menjadi imam adalah ikhwan (apakah dari pihak ahli mayit atau yang lain yang berpemahaman salaf). Selesai menyolatkan beberapa ikhwan langsung menuju keranda mayat dan memegang empat penjuru dari keranda tersebut dan langsung membawanya menuju pemakaman.

Kalau ini dilakukan maka orang lain tidak akan berani untuk mencegahnya, karena pihak keluarga yang lebih berhak. Tetapi kalau ikhwannya satu atau dua orang, maka bisa dipastikan akan menemui beberapa kendala.

Itulah sedikit serba-serbi pengalaman beberapa ikhwan dalam mengamalkan sunnah di tengah-tengah masyarakat. Sebagai catatan akhir penulis, hindari dan jauhi pertikaian dengan masyarakat. Ingat, amaliyah-amaliyah yang mereka lakukan selama ini kebanyakan karena ketidaktahuan mereka. Untuk itu tugas kita adalah mengajak (berdakwah) tentunya dengan cara yang bijak, sopan serta memahami fiqhud da'wah.Tetaplah bermuamalah bersama mereka selama tidak melanggar syari'at.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar